ANALISIS WACANA MEDIA
ANALISIS WACANA MEDIA
Oleh: Nur Sayyid Santoso Kristeva, M.A.
Alumnus UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta & Pascasarjana
Sosiologi Fisipol UGM,
Kader Kultural PMII Daerah Istimewa Jogjakarta. 085 647 634 312/
nuriel.ugm@gmail.com
Contents
- Teori
Wacana dan Bahasa
- Memahami
Makna
- Media
- Simbol
- Teori
Wacana dalam Tradisi Filsafat
- Pendekatan
Analisis Wacana
- Wacana
Tulis, Teks dan Konteks
- Wacana
dan Ideologi
- Karakteristik
Analisis Wacana
- Kerangka
Analisis Wacana
Apakah Wacana itu?
- Komunikasi
pikiran dengan kata-kata; ekspresi ide-ide atau gagasan-gagasan;
konversasi atau percakapan.
- Komunikasi
secara umum, terutama sebagai suatu subjek studi atau pokok telaah.
- Risalat
tulis; disertasi formal; kuliah; ceramah; khotbah. (Webster, 1983: 522).
Sudjiman, 1993: 6
- Wacana
ialah rekaman kebahasaan yang utuh tentang peristiwa komunikasi, biasanya
terdiri atas seperangkat kalimat yang mempunyai hubungan pengertian yang
satu dengan yang lain.
- Komunikasi
itu dapat menggunakan bahasa lisan, dan dapat pula menggunakan bahasa
tulisan.
Firth, Samsuddin, 1992: 2
- Language
as only meaningfull in its context of situation. Makna suatu bahasa berada pada rangkaian konteks dan situasi.
- Pembahasan
wacana pada dasarnya merupakan pembahasan terhadap hubungan antara
konteks-konteks yang terdapat di dalam teks.
- Pembahasan
itu bertujuan menjelaskan hubungan antara kalimat atau antara ujaran(utterances) yang
membentuk wacana.
Foucault, Mills: 1994
- Kontekstual
Teoretis; Wacana berarti domain umum
dari semua pernyataan, yaitu semua ujaran/ teks yang mempunyai makna &
efek dalam dunia nyata.
- Konteks
Penggunaan; Wacana berarti sekumpulan
pernyataan yang dapat dikelompokan kedalam kategori konseptual tertentu
(Misalnya: imperealisme/ feminisme)
- Metode
Penjelasan; Wacana berarti suatu praktik
yang diatur untuk menjelaskan sejumlah pernyataan.
Kebutuhan Dasar Wacana
- Keinginan
untuk memberi informasi kepada orang lain mengenai suatu hal.
- Keinginan
untuk meyakinkan seseorang mengenai kebenaran suatu hal dan mempengaruhi
sikap/pendapat orang lain.
- Keinginan
untuk mendeskripsikan cita-rasa suatu bentuk, wujud, objek.
- Keinginan
untuk menceritakan kejadian atau peristiwa yang terjadi. (Keraf, 1995: 6).
Bentuk Retorika Wacana
- Wacana
Transaksional; jika yang dipentingkan ialah
‘isi’ komunikasi.
- Wacana
Interaksional; jika yang dipentingkan
hubungan timbal balik antara penyapa (addresses) dan
pesapa (addressee). (Sudjiman, 1993: 6).
Otoritas Analisis Wacana
- Dalam
Linguistik; Analisis wacana digunakan
untuk menggambarkan sebuah struktur yang luas melebihi batasan-batasan
kalimat. (Sunarto, 2001: 119-120)
- Dalam
Teks Tertulis; Analisis wacana bertujuan
untuk mengeksplisitkan norma-norma & aturan-aturan bahasa yang
implisit. Analisis wacana bertujuan untuk menemukan unit-unit hierarkis
yang membentuk suatu struktur diskursif (Mills,1994)
Bahasa
- Manusia
adalah mahluk berfikir. Demikian tesis klasik yang kita temukan dalam
dunia filsafat. Konsekuensi logis dari tesis ini, bahwa manusia adalah
mahluk berbahasa.
- Hubungan
pikiran dan bahasa sangat erat. Bahasa menunjukkan jalan pikiran
seseorang.
- Dalam
bahasa terdapat sesuatu kekuatan yang tidak tampak yang diberi nama
komunikasi. (Loren Bagus, 1990).
Filsafat Bahasa
- Dalam
filsafat bahasa dikatakan, bahwa orang yang mencipta realitas dan
menatanya lewat bahasa.
- Bahasa
mengangkat kepermukaan hal yang tersembunyi sehingga menjadi kenyataan.
- Bahasa
dapat dipakai untuk menghancurkan realitas orang lain. Bahasa dapat
menjadi tiran. (Loren Bagus, 1990).
Fungsi Bahasa
- Fungsi Ideasional: untuk membentuk, mempertahankan dan memperjelas
hubungan diantara anggota masyarakat.
- Fungsi Interpersonal: untuk menyampaikan informasi diatara anggota
masyarakat.
- Fungsi Tekstual: untuk menyediakan kerangka, pengorganisasian
diskursus (wacana) yang relevan dengan situasi (features of the
situation). (Halliday, 1972: 140-165)
Makna
- Makna
merupakan kata yang subjektif (Jalaluddin Rahmat, 1996)
- Para
ahli filsafat dan linguis, membedakan antara struktur logis dan struktur
bahasa, sehingga memudahkan kita untuk membedakan antara ungkapan yang
tidak mengandung makna (meaningless) dan yang mengandung arti (meaningfull).
(Mustansyir, 2001: 153-154)
Makna dalam Konteks Wacana
- Dalam
konteks wacana, makna dapat dibatasi sebagai “hubungan antara bentuk
dengan hal/ barang yang diwakilinya (referen-nya)” (Keraf, 1994:
25)
- Kata rumah:
adalah bentuk/ ekspresi. Barang yang diwakili oleh
kata rumah: sebuah bangunan yang beratap, berpintu, berjendela
yang menjadi tempat tinggal manusia. Barang itu disebutreferen.
Hubungan bentuk dan referen menimbulkan makna/ referensi.
- Makna atau referensi kata rumah timbul
akibat hubungan antara bentuk itu dengan pengalaman-pengalaman non
linguistik atau barang yang ada di alam.
Jenis-jenis Makna
- Makna
Emotif (emotive meaning)
- Makna
Kognitif (cognitive meaning)
- Makna
Deskriptif (descriptive meaning)
- Makna
Referensial (referential meaning)
- Makna
Piktorial (pictorial meaning)
- Makna
Kamus (dictionary meaning)
- Makna
Samping (fringe meaning)
- Makna
Inti (core meaning) (Shipley, 1962)
Makna Denotatif & Konotatif
- Makna Denotatif; Kata yang tidak mengandung makna atau
perasaan-perasaan tambahan.
- Makna Konotatif; Kata yang mengandung arti tambahan, perasaan tertentu
atau nilai rasa tertentu, disamping makna dasar yang umum. (Keraf, 1994:
27-31)
Perubahan & Pemberian Makna
- Makna
yang dikode oleh pemirsa terjadi dalam ruang yang berbeda dan individu
yang berbeda berdasarkan pada kemampuan kognitif dan kemampuan afektif
pemirsa.
- Makna
yang dikode oleh pemirsa tergatung pada bagaimana individu melakukan
dekonstruksi terhadap iklan televisi/ tulisan di media cetak.
- Setiap
individu memiliki kebebasan menentukan metode interpretasi, termasuk
kepentingan dalam melakukan dekonstruksi. (Bungin, 2001: 199-200).
Peran Makna
- Peran
tanda (sign) di dalam masyarakat (semiotics), makna-makna
tanda (semantics), serta kode-kode sosial (social codes)
dibalik tanda dan makna tersebut diperlukan dalam studi kebudayaan, oleh
karena itu makna tersebut merupakan pembentuk (construct) utama
dari kebudayaan. (Piliang, 2001: 308).
- Kata
memperoleh maknanya melalui penggunaannya sehari-hari dalam konteks
kebudayaan. (van Peursen, 1990: 2).
Bias Media
- Bias
media terjadi karena media tidak berada dalam ruang vakum.
- Media
sesungguhnya berada ditengah realitas sosial yang sarat dengan berbagai
kepentingan, konflik dan fakta yang kompleks dan beragam.
Louis Althusser, 1971
- Media
dalam hubungannya dengan kekuasaan, menempati posisi strategis, terutama
karena anggapan akan kemampuannya sebagai sarana legitimasi.
- Media
massa sebagaimana lembaga pendidikan, agama, seni, kebudayaan, merupakan
bagian dari alat kekuasaan negara yang bekerja secara ideologis guna
membangun kepatuhan khalayak terhadap kelompok yang berkuasa (ideological
states apparatus).
Antonio Gramsci, 1971
- Pandangan
Althusser tentang media dianggap oleh Gramsci mengabaikan resistensi
ideologis dari kelas tersubordinasi dalam ruang media.
- Media
merupakan arena pergulatan antar ideologi yang saling berkompetisi (the
battle ground for competing ideologies).
- Media
adalah ruang dimana ideologi direpresentasikan. Media bisa menjadi sarana
penyebaran ideologi penguasa, alat legitimasi dan kontrol wacana publik.
- Pada
sisi lain, media bisa menjadi alat resistensi terhadap kekuasaan. Media
bisa menjadi alat untuk membangun kultur dan ideologi dominan bagi
kepentingan kelas dominan, sekaligus juga bisa menjadi instrumen
perjuangan bagi kaum tertindas untuk membangun kultur dan ideologi
tandingan.
Kepentingan Media
- Althusser
dan Gramsci sepakat bahwa media massa bukan sesuatu yang bebas,
independen, tetapi memiliki keterkaitan dengan realitas sosial.
- Ada
berbagai kepentigan yang bermain dalam media massa. Kepentingan ideologis
antara masyarakat dan negara, juga kepentingan lain, misalnya; kepentingan
kapitalisme pemilik modal, kepentingan keberlangsungan (suistainabilitas) lapangan
kerja bagi para karyawan.
- Dalam
kondisi ini media harus bergerak dinamis diatara pusaran yang bermain. Hal
inilah yang menyebabkan bias berita di media yang sulit dihindari.
Faktor Penyebab Bias Media
- Kapasitas
dan kualitas pengelola media.
- Kuatnya
kepentingan yang sedang bermain dalam realitas sosial.
- Taraf
kekritisan dari masyarakat. (Winarko, 2000: xi)
- [Dari
ketiga faktor tersebut menimbulkan derajat bias media yang berbeda-beda)
Makna Bahasa Menimbulkan Bias
- Dalam
sebuah penelitian terhadap fenomena perkosaan dalam pemberitaan surat
kabarKedaulatan Rakyat dan Suara Merdeka, ditemukan
22 kata yang digunakan untuk menggantikan kata “perkosaan”, yaitu: 1)
merenggut kegadisan, 2) mencabuli, 3) menggauli, 4) menggagahi, 5)
menakali, 6) dianui, 7) dikumpuli, 8) menipu luar dalam, 9) digilir, 10)
dinodai, 11) digarap, 12) dihamili, 13) korban cinta paksa, 14) dipaksa
berhubungan intim, 15) berbuat tidak senonoh, 16) memaksa bersetubuh, 17)
korban kuda-kudaan, 18) memaksa memenuhi nafsu birahi, 19) dipaksa melayani,
20) melakukan perbuatan asusila, 21) digelandang, 22) dipaksa melakukan
permainan ibu-ibuan.
- Pilihan
atau pemakaian istilah tersebut jelas menimbulkan bias (Winarko, 2000: 50)
Media & Politik Pemaknaan
- Politik
pemberitaan media berhubungan dengan strategi media dalam meliput
peristiwa, memilih dan menampilkan fakta serta dengan cara apa fakta itu
disajikan—yang secara langsung atau tidak berpengaruh dalam merekonstruksi
media. (Eriyanto, 2000)
- Makna
media tidak bergantung pada struktur makna itu sendiri, tetapi lebih
kepada praktik pemaknaan. Makna adalah suatu produksi sosial, suatu
praktik konstruksi.
- Media
massa pada dasarnya tidak mereproduksi, melainkan menentukan (to
define) realitas melalui pemakaian kata-kata yang dipilih.
- Makna
tidak secara sederhana bisa dianggap sebagai produksi dalam bahasa, tetapi
sebuah pertentangan sosial (social struggle) sebuah perjuangan
dalam memenangkan wacana. Pemaknaan yang berbeda merupakan arena
pertarungan tempat memasukkan bahasa didalamnya. (Hall, 1982: 67).
Bahasa Sebagai Sistem Simbol
- Proses
komunikasi sebenarnya mencakup pengiriman pesan dari sistem saraf
seseorang kepada sistem saraf orang lain, dengan maksud untuk menghasilkan
sebuah makna yang sama dengan yang ada dalam benak sipengirim. Pesan
verbal melakukan hal tersebut melalui kata-kata, yang merupakan unsur
dasar bahasa, dan kata-kata sudah jelas merupakan simbol verbal. (Tubbs
& Moss, 1994: 66)
- Bahasa
adalah kombinasi kata yang diatur secara sistematis sehingga bisa
digunakan sebagai alat komunikasi. Kata itu sendiri merupakan bagian
integral dari simbol yang dipakai oleh kelompok masyarakat. Oleh karena
itu kata bersifat simbolis. (Wibowo, 2001: 3-4)
Teori Wacana dalam Tradisi Filsafat
- Aliran
strukturalisme berpendapat bahwa arti bahasa tidak tergantung dari maksud
pembicara atau pendengar ataupun dari referensinya pada kenyataan
tertentu; arti bergantung pada struktur makna itu sendiri.
- Yang
dimaksud struktur disini ialah jaringan hubungan intern elemen-elemen
terkecil bahasa yang membentuk suatu kesatuan otonom yang tertutup.
(Hjelmslev, dalam Kleden, 1997: 34).
Pendekatan Analisis Wacana
- Pertama, Analisis
wacana seluruhnya mengenai cara-cara wacana disusun, prinsip yang
digunakan oleh komunikator untuk menghasilkan dan memahami percakapan atau
tipe-tipe pesan lainnya.
- Kedua, Analisis wacana dipandang sebagai aksi, cara
melakukan segala hal dengan kata-kata.
- Ketiga, Analisis wacana adalah suatu pencarian
prinsip-prinsip yang digubakan oleh komunikator aktual dari perspektif
mereka. (Littlejohn, 1996: 84-85).
Wacana Tulis, Teks & Konteks
- Tulisan bukan cuma sekedar “literal pictographic” atau
sekedar inskripsi yang bersifat ideografik, tetapi tulisan dapat merupakan
suatu totalitas, termasuk kemampuannya untuk melampaui apa yang hanya bisa
ditunjuk secara fisik. (Derrida 1984, dalam Kleden-Probonegoro, 1998).
- Teks adalah fiksasi atau pelembagaan sebuah peristiwa
wacana lisan dalam bentuk tulisan. (Hidayat, 1996:129).
- Konteks memasukkan semua situasi dan hal yang berada
diluar teks dan mempengaruhi pemakaian bahasa, seperti partisipan dalam
bahasa, situasi dimana teks tersebut diproduksi, fungsi yang dimaksudkan,
dsb. (Eriyanto, 2001: 9).
Konteks
- Konteks
Fisik (physical context), yang meliputi tempat terjadinya pemakaian bahasa dalam
suatu komunikasi, objek yang disajikan dalam suatu peristiwa komunikasi
itu, dan tindakan atau peilaku dari para peran dalam peristiwa komunikasi
itu.
- Konteks
Epistemis (epistemic context), yaitu
latar belakang pengetahuan yang sama-sama diketahui oleh pembicara maupun
pendengar.
- Konteks
Linguistik (linguistic context), yaitu
terdiri atas kalimat-kalimat atau tuturan-tuturan yang mendahului satu
kalimat atau tuturan tertentu dalam peristiwa komunikasi.
- Koteks
Sosial (social context), yaitu relasi sosial dan latar setting yang melengkapi
hubungan antara pembicara (penutur) dengan pendengar. (Syafi’ie, 1990,
dalam Lubis, 1993: 58).
Wacana dan Ideologi
- Implikasi
ideologi terhadap wacana; 1) ideologi secara inheren bersifat sosial,
tidak personal atau individual, ia membutuhkan share diantara
anggota kelompok, organisasi atau kolektifitas, 2) ideologi meskipun
bersifat sosial, ia digunakan secara internal diatara anggota kelompok
atau komunitas.
- Wacana
tidak bisa menempatkan bahasa secara tertutup, tetapi harus melihat
konteks, terutama bagaimana ideologi dari kelompok-kelompok yang ada
tersebut berperan dalam membentuk wacana.
- Dalam
teks berita misalnya, dapat dianalisis apakah teks yang muncul tersebut
pencerminan dari ideologi seseorang, apakah feminis, kapitalis, sosialis,
dsb. (Eriyanto, 2001: 13-14).
Karakteristik Analisis Wacana
- Pertama, dalam analisisnya analisis wacana lebih bersifat
kualitatif dibandingkan analisis isi yang umumnya kuantitatif.
- Kedua, analisis isi kuantitatif pada umumnya hanya digunakan
untuk membedah muatan teks komunikasi yang bersifat manifest (nyata),
analisis wacana berpretensi memfokuskan pada pesan latent (tersembunyi).
- Ketiga, analisis isi kuantitatif hanya dapat mempertimbangkan
“apa yang dikatakan” (what)tetapi tidak dapat menyelidiki “bagaimana
ia dikatakan” (how).
- Keempat, analisis
wacana tidak berpretensi melakukan generalisasi. Karena peristiwa selalu
bersifat unik, karena itu tidak dapat diperlakukan prosedur yang sama
untuk isu dan kasus yang berbeda. (Eriyanto, 2001: 337-341).
Kerangka Analisis Wacana (Elemen Wacana Van Dijk)
Struktur
wacana
|
Hal
yang diamati
|
Elemen
|
Super
Struktur
|
TEMATIK
(Apa
yang dikatakan?)
|
Topik
|
Struktur
Makro
|
SKEMATIK
(Bagaimana
pendapat disusun dan dirangkai?)
|
Skema
|
Struktur
Mikro
|
SEMANTIK
(Makna
yang ingin ditekankan dalam teks berita)
|
Latar,
detail, maksud, praanggapan, nominalisasi
|
Struktur
Mikro
|
SINTAKSIS
(Bagaimana
pendapat disampaikan?)
|
Bentuk
kalimat,
koheresi,
kata ganti
|
Struktur
Mikro
|
STILISTIK
(Pilihan
kata apa yang dipakai?)
|
Leksikon
|
Struktur
Mikro
|
RETORIS
(Bagaimana
dan dengan cara apa penekanan dilakukan?)
|
Grafis,
metafora, ekspresi
|
Elemen-elemen Struktur Wacana
- Tematik: Informasi yang paling penting atau inti pesan yang
ingin disampaikan oleh komunikator.
- Skematik: dalam konteks penyajian berita ada dua kategori skema
besar, 1) Summary; yang ditandai judul (head line)
& teras berita (lead), 2) Story; isi berita secara
keseluruhan.
- Semantik: makna tertentu dalam suatu bangunan teks, dimensi
teks, presupposition, makna yang implisit atau eksplisit, makna yang
sengaja disembunyikan. Struktur wacana juga bisa menggiring kearah
tertentu dari suatu peristiwa.
- Sintaksis: seluk beluk wacana, kalimat, klausa dan frase.
Dianalisis dari koherensi, bentuk kalimat, kata ganti.
- Stilistik: gaya bahasa yang digunakan penulis untuk menyampaikan
maksudnya. Peristiwa yang sama dapat digambarkan dengan pilihan kata yang
berbeda-beda. Pilihan leksikal ataudiksi pada
dasarnya menandakan bagaimana seseorang melakukan pemilihan kata atai
frase atas berbagai kemungkinan kata yang tersedia.
- Retoris: gaya yang diungkapkan ketika seseorang berbicara atau
menulis. Misalnya hiperbolik(pemakaian kata yang
berlebihan), repetisi (pengulangan), aliterasi (pemakaian
kata seperti sajak), interaksi (bagaimana penulis
menempatkan diri diatara khalayak), metafora (makna
kiasan) visual image (membuat anggapan).
Penjelasan:
Yang
diamati
|
Elemen
|
TEMATIK
|
§ TOPIK: Informasi paling penting, inti pesan yang ingin
disampaikan oleh komunikator
|
SKEMATIK
|
§ HEAD LINE: Judul berita utama (to attrack the reader)
§ LEAD: Teras berita terletak pada paragraf pertama, bagian
paling pokok dalam berita
§ STORY: Isi berita secara keseluruhan; 1) situasi,
yakni proses jalannya peristiwa, a] kisah utama dari peristiwa, b] latar
untuk mendukung kisah utama dipakai untuk memberi konteks, 2)komentar, yang
ditampilkan dalam teks, komentar dari pihak yang terlibat dengan peristiwa
itu, a] reaksi/ komentar verbal dari tokoh yang dikutip wartawan, b]
kesimpulan yang diambil wartawan dari berbagai tokoh.
|
SEMANTIK
|
§ LATAR: Latar belakang peristiwa, hendak kemana makna suatu teks
dibawa (Ex: Perselisihan politik, Krisis ekonomi, Konflik)
§ DETAIL: Apakah sisi informasi tertentu diuraikan secara panjang
atau tidak
§ ILUSTRASI: Apakah sisi informasi tertentu disertai contoh atau
tidak
§ MAKSUD: Apakah teks itu disampaikan secara eksplisit atau
implisit
§ PRESUPPOSITION: Pernyataan yang digunakan untuk mendukung makna suatu
teks
§ PENALARAN: Elemen yang digunakan untuk memberi basis nasional,
sehingga teks tampak benar dan meyakinkan.
|
SINTAKSIS
|
§ KOHERENSI: Kata hubungan yang dipakai untuk menghubungkan fakta/
proposisi (Ex: Peristiwa penjarahan massal, “karena tingkat pendidikan mereka
rendah”—dapat memberi kesan bahwa rendahnya pendidikan yang menyebabkan
mereka melakukan penjarahan.
§ NOMINALISASI: Sugesti kepada khalayak dengan generalisasi
§ ABSTRAKSI: Apakah komunikator memandang objek sebagai suatu yang
tunggal berdiri sendiri/ sebagai suatu kelompok (komunitas)
§ BENTUK KALIMAT: Makna yang dibentuk oleh susunan kalimat,
dengan cara berfikir logis (prinsip kausalitas). Dalam kalimat berstuktur
aktif, seseorang menjadi subjek dari pernyataannya, dalam kalimat pasif,
seseorang menjadi objek dari pernyataannya.
§ PROPOSISI: Proposisi diatur dalam satu rangkaian kalimat. Prosisi
mana yang ditempatkan diawal, dan mana yang diakhir kalimat. Penempatan itu
dapat mempengaruhi makna yang timbul dan menunjukkan bagian mana yang lebih
ditinjokan kepada khalayak.
§ KATA GANTI: Kata ganti timbul untuk menghindari pengulangan kata
(anteseden) dalam kalimat berikutnya. Dalam analisis wacana kata ganti
merupakan alat yang dipakai komunikator untuk menunjukkan dimana posisi
seseorang dalam wacana. (Ex: saya, kami, kita)
|
STILISTIK
|
§ STYLE: Cara/ gaya bahasa yang digunakan seseorang untuk
menyatakan maksudnya. Ciri-ciri penggunaan bahasa yang khas, kecenderungannya
untuk secara konsisten menggunakan struktur bahasa tertentu, gaya bahasa
pribadi seseorang.
§ PILIHAN
LEKSIKAL/ DIKSI: Bagaimana seseorang melakukan
pemilihan kata atau frase atas berbagai kemungkinan frase yang tersedia.
Pilhan kata/ frase yang dipakai menunjukkan sikap dan ideologi tertentu.
Peristiwa yang sama dapat digambarkan dengan pilihan kata yang berbeda-beda.
(Ex: Terorisme—pembela kebenaran, Pembunuhan—kecelakaan, Meninggal—mati,
tewas, gugur, meninggal, terbunuh, menghembuskan nafas terakhir).
|
RETORIS
|
§ RETORIKA: Gaya yang diungkapkan penulis, apakah
menggunakan kata yang berlebihan (hiperbolik), atau retoris persuasif, apakah
menggunakan pengulangan untuk penegasan makna (repetisi), apakah kata-kata
sepeti sajak (aliterasi), apakah menggunakan retoris ejekan (ironi), atau
menggunakan majas untuk menggantikan nama yang ada hubungannya dengan nama
yang digantikan (metonimia).
§ INTERAKSI: Bagaimana pembicara/ penulis menempatkan/ memposisikan
dirinya diantara khalayak, apakah memakai gaya formal, informal atau santai
yang menunjukkan kesan bagaimana ia menampilkan dirinya.
§ EKSPRESI: Bagaimana ekspresi maksud penulis untuk membantu
menonjolkan atau menghilangkan bagian tertentu dari teks yang disampaikan.
Dalam teks tertulis, ekspresi ini muncul misalnya dalam bentuk grafis, gambar
foto, raster atau tabel untuk mendukung gagasan atau untuk bagian lain yang
tidak ingin ditonjolkan.
§ METAFORA: Apakah ada kiasan, ungkapan, ornamen atau bumbu dari
suatu teks. Metafora dipakai oleh komunikator secara strategis sebagai
landasan berfikir, alasan pembenar atas pendapat atau gagasan tertentu kepada
publik.
§ VISUAL
IMAGE: Dalam teks, elemen ini
ditampilkan dengan penggambaran detail bebera hal yang ingin ditonjolkan.
(Ex: Tentang pentingnya peran kelompok tertentu dalam masyarakat, dan sebagai
konsekuensinya, memarginalkan kelompok lain yang menjadi lawannya,
saingannya, atau kelompok yang akan mengancam eksistensi dan peran kelompok
yang menjadi pilihannya.[]
|
A.
Pendahuluan
Mempelajari media merupakan tantangan yang
menarik tanpa pernah habis dimakan waktu, bahkan cukup banyak penelitian
sebelumnya yang berkutat pada permasalahan seputar media. Beberapa diantaranya
mengangkat tema yang menarik, atau sudut pandang permasalahan yang berbeda.
Akhirnya penulis menjatuhkan pilihan pada konstruksi wacana media dengan
paradigma kritis.
Analisis Wacana Kritis media, merupakan bentuk
kesimpulan dari sudut pandang yang penulis kemukakan mengenai media, yang
bersentuhan dengan perihal analisis isi, analisis framing, wacana, maupun
semiotika.dilihat dari wujud kekuasaan, bentuk hegemoni serta dampak idiologi
dominan yang tersampaikan dalam teks. Namun penulis juga mulai memahami bahwa
kemampuan masyarakat dalam memilah media serta mengartikan makna, menjadi
semacam perisai yang membatasi terpaan-terpaan informasi dari berbagai media.
Tentunya sebagai bagian dari pelaku akademik, penulis hanya berupaya memenuhi
tuntutan dalam usaha untuk lebih memahami fungsi serta peran media, dan
memperlihatkan wacana idiologi media kepada masyarakat sebagai bagian dari alur
mediasi pembentukan realitas melalui teks berita.
Penulisan ini dimaksudkan sebagai salah satu
referensi dalam penulisan karya ilmiah mengenai media yang mengarah pada
paradigma kritis, dengan tujuan mengkritisi konstruksi wacana media yang selama
ini menjadi wadah idealisme pelaku media. Penulis berharap dapat lebih
jauh melihat kekuasaan terhadap teks, dan menemukan konsep yang menarik perihal
kekuatan media, serta mengungkap makna yang tersembunyi dengan pandangan kritis
terhadap wacana media.
Munculnya analisis
wacana, khususnya dalam bidang analisis teks media melahirkan berbagai varian
analisis yang pada akhirnya memunculkan persinggungan antara model analisis
yang satu dengan yang lain. Analisis model teks media versi Norman
Fairclogh dan Teun A Van Dijk misalnya, keduanya
menekankan analisis teks berdasarkan konteks sosial. Dalam versi Indonesia
teori analisis teks media disadur cukup baik oleh Eryanto. Dalam buku Eryanto memaparkan
berbagai kompilasi model analisis teks media dari berbagai perspektif yang
dikemukakan Foulcault, Roger Fowler, Theo van Leeuwen, Sara
Mills, Teun A Van Dijk, dan Norman Fairclouch dengan contoh teks surat
kabar Indonesia. Pemahaman perspektif teks
media juga diteliti oleh Suroso yang memetakan empat macam perspektif media
Indonesia yang pro masyarakat, negara, yang lain, dan netral.
B. Landasan
Teori
Tiga Paradigma Analisis wacana
Istilah analisis wacana adalah istilah umum
yang dipakai dalam banyak disiplin ilmu dan dengan berbagai pengertian. Dalam
studi linguistic, wacana menunjuk suatu kesatuan bahasa yang lengkap, yang
umumnya lebih besar dari kalimat, baik disampaikan secara lisan atau tertulis.
Wacana adalah rangkaian kalimat yang serasi yang menghubungkan proporsi satu
dan yang lain, kalimat satu dengan yang lain, membentuk satu kesatuan. Kesatuan
bahasa itu bisa panjang, bisa pendek. Sebagaai sebuah teks, wacana bukan urutan
kalimat yang tidak memmpunyai ikatan sesamanya, bukan kaliamat yang dideretkan
begitu saja.
Analisis wacana berhubungan dengan studi
mengenai bahasa/pemakaian bahasa. Untuk menjelaskan lebih lanjut tentang
analisis wacana, kita perlu bertanya Bagaimana bahasa dipandang dalam analisis
wacana?.
Dalam hal ini, A.S Hikam menyampaikan adanya
tiga paradigma analisis yang digunakan untuk melihat bahasa. Ketiga paradigma
analisis wacana ini yang akan mendapatkan porsi banyak untuk di jelaskan dalam
tulisan ini selanjutnya.
Pandangan pertama diwakili oleh kaum
Positivisme - Empiris. Penganut aliran ini melihat bahasa sebagai jembatan
antara manusia dengan objek yang ada di luar dirinya. Pengalaman manusia
dianggap dapat secara langsung diekspresikan melalui penggunaan bahasa tanpa
ada kendala aatau distorsi, sejauh ia dinyatakan dengan menggunakan pernyataan-pernyataan
yang logis, sintaksis, dan memiliki hubungan dengan pengalaman empiris. Salah
satu cirri dari pemikiran ini adalah pemisahan antara ide/pemikiran dan
realitas. Dalam kaitannya dengan analisis wacana, konsekuensi logis dari
pemahaman ini adalah oranng tidak perlu mengetahui makna-makna subjektif atau
nilai yang mendasari pernyataannya, sebab yang penting adalah apakah pernyataan
itu dilontarkan secara benar menurut kaidah sintaksis dan seemantik. Oleh
karena itu, kebenaran sintaksis (tata bahasa) adalah bidang utama dari aliran
positivisme tentang wacana.
Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas,
titik perhatian utama aliran positivisme didasarkan pada benar tidaknya bahasa
itu secara gramatikal. Istilah yang sering disebut adalah kohesi dan koherensi.
Wacana yang baik selalu mengandung kohesi dan koherensi di dalamnya. Kohesi
merupakan keserasian hubungan antar unsur-unsur dalam wacana, sedangkan
koherensi merupakan kepaduan wacana sehingga membawa ide tertenti yang dipahami
oleh khalayak.
Pandangan kedua dalam analisis wacana adalah
Konstruktivisme. Pandangan ini banyak dipengaruhi oleh pemikiran fenomenologi.
Aliran ini menolak pandangan positivisme/empirisme dalam analisis wacana yang
memisahkan subyek dan objek bahasa. Dalam pandangan konstruktivisme, bahasa
tidak lagi hanya dilihat sebagai alat untuk memahami realitas objektif belaka
yang dipisahkan dari subjek sebagai penyampai pernyataan. Konstruktivisme
justru menganggap bahwa subjek adalah aktor utama atau faktor sentral dalam
kegiatan wacana serta hubungan-hubungan sosialnya.
Dalam hal ini, mengutip A.S Hikam yang
mengatakan bahwa, subjek memiliki kemampuan melakukan kontrol terhadap
maksud-maksud tertentu dalam setiap wacana. Bahasa yang dipahami dalam
paradigma ini diatur dan dihidupkan dalam pernyataan-pernyataan yang bertujuan.
Setiap pernyataan pada dasarnya dalah penciptaan makna, yakni tindakan
pembentukan diri serta pengungkapan jatidiri dari sang pembicara.
Oleh karena itu, analisis wacana dimaksudkan
sebagai suatu analisis yang membongkar makna dan maksud-maksud tertentu. Wacana
adalah suatu upaya pengungkapan maksud tersembunyi dari sang subjek yang
memngemukakan suatu pernyataan.pengungkapan itu dilakukan diantaranya dengan
menempatkan diri pada posisi sang pembicara dengan penafsiran mengikuti
struktur makna dari sang pembicara.
Pandangan ketiga disebut pandangan kritis.
Pandangan ingin mengoreksi pandangan pandangan konstruktivisme yang kurang
sensitif pada proses produksi dan reproduksi makna yang terjadi ssecara
historis maupun secara institusional. Seperti ditulis A.S Hikam, pandanga
konstruktivisme masih belum menganalisis faktor-faktor hubungan kekuasaan yang
inhern dalam setiap wacana, yang pada gilirannya berperan dalam membentuk
jenis-jenis subjek tertentu berikut perilaku-perilakunya.hal inilah yang
melahirkan paradigma kritis.
Analisis wacana tidak dipusatkan pada
kebenaran atau ketidakbenaran struktur tata bahasa atau proses penafsiran
seperti pada pandangan konstruktivisme. Analisis wacana dalam paradigma kritis
menekankan pada konstelasi kekuatan yang terjadi pada proses produksi dan
reproduksi makna. Individu tidak dianggap sebagai subjek yang netral yang bisa
menafsirkan secara bebas sesuai dengan pikiran-pikirannya, karena sangat
berhubungan dan dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan sosial yang adal dalam
masyarakat. Bahasa disini tidak dipahami sebagai medium netral yang terletak di
luar diri si pembicara.
Bahasa dalam pandangan kritis dipahami sebagai
representasi yang berperan dalam membentuk subjek tertentu, tema-tema tertentu,
maupun strategi-strategi di dalamnya. Oleh karena itu, analisis wacana
digunakan untuk membongkar kuasa yang ada dalam setuap proses bahasa seperti,
batasan-batasan apa yang diperkenankan menjadi wacana, perspektif yang mesti
dipakai, topik apa yang dibicarakan.Dengan pandangan semacam ini, wacana
melihat bahasa selalu terlibat dalam hubungan kekuasaan, terutama dalam
pembentukan subjek, dan berbagai tindakan representasi yang terdapat dalam
masyarakat. Karena memakai perspektif kritis, (paradigma) analisis wacana yang
ketiga ini sering juga disebut Critical Discourse Analysis/CDA.
C. Pembahasan
Tulisan ini ingin
mendeskripsikan model analisis Wacana Teun A van Dijk yang
dalam banyak hal diteruskan model analisisnya oleh Norman Fairclouch.
Untuk memperkaya bahan analisis juga disinggung pemahaman wacana dan ideologi
dalam pers Roger Fowler, dengan kasus analisis surat kabar
Indonesia pasca era reformasi.
Analisis Wacana Model
Teun Van Dijk
Menurut Van Dijk,
penelitian analisis wacana tidak cukup hanya didasarkan pada analisis
teks semata, karena teks hanya hasil dari suatu praktik produksi. Pemahaman
produksi teks pada akhirnya akan memperoleh pengetahuan mengapa teks bisa
demikian. Van dijk juga melihat bagaimana struktur sosial, dominasi, dan
kelompok kekuasaan yang ada dalam masyarakat dan bagaimana kognisi/pikiran dan
kesadaran yang membentuk dan berpengaruh terhadap teks-teks tertentu.
Pada rejim Soeharto
misalnya konsolidasi kekuasaan dilakukan melalui bahasa dengan beberapa
cara. Pertama, penghalusan konsep-konsep dan pengertian yang
bersentuan dengan kekuasaan. Penghalusan ini untuk melenyapkan konsep yang
membahayakan Orde Baru. Pemasyarakatan katamasa bakti, persatuan dan
kesatuan, ketahanan nasional, rawan pangan, daerah tertinggal,
pengentasan kemiskinan, negara hukum, dll. Rawan pangan lebih baik
dari kelaparan dan masa baktilebih baik dari masa
jabatan. Kedua, memperkasar, bertujuan untuk menyudutkan
kekuatan lain yang dapat mengancam kekuasaan. Pemroduksian kata-kata SARA,
GPK, subfersif, bersih diri, ekstrim kanan, ekstrim kiri, golongan frustasi,
OTB (organisasi Tanpa Bentuk), anti Pancasila. Kata-kata itu berdampak
buruk pada golongan oposisi. Ketiga, penciptaan kata-kata yang bisa
mengerem dan menurunkan emosi masyarakat. Kata-kata ini sering diambil dari
leksikon bahasa Jawa, misalnyamendhem jero mikul dhuwur, jer basuki
mawa bea, lengser keprabon dan pemakian kata yang referensinya tidak
jelas sperti demi kepentingan umum, mengencangkan ikat pinggang, dll. Keempat,
penyeragaman istilah. Hal ini dilakukan oleh pejabat dan birokrat,
misalnya SDSB bukan judi, darah pengacau halal hukumnya, siapa pun
boleh mendirikan partai baru, dll. Kelima, eufemisme bahasa.
Pemakaian kalimat “Keterlibatan 7 oknum Kopasus merupakan pil pahit” utang
diganti dengan bantuan luar negeri, pelacur diganti dengan
pekerja seks komersial, penjara menjadi lembaga pemasyarakatan,
dst.
Wacana digambarkan oleh
Van Dijk mempunyai tiga dimensi/bangunan yaitu teks, kognisi sosial, dan
konteks sosial. Inti analisis model van Dijk adalah menggabungkan tiga dimensi
wacana tersebut dalam satu kesatuan analisis. Dimensi teks yang
diteliti adalah bagaimana struktur teks dan strategi wacana yang dipakai
untuk menegaskan suatu tema tertentu. Pada level kognisi sosial dipelajari
proses produksi teks berita yang melibatkan kognisi individu dari
wartawan. Sedangkan aspekkonteks mempelajari bangunan
wacana yang berkembang dalam masyarakat akan suatu masalah. Analisis van
Dijk menghubungkan analisis tekstual ke arah analisis yang komprehensif
bagaimana teks diproduksi, baik dalam hubungannya dengan individu
wartawan dan masyarakat.
Representasi Peristiwa dalam Berita menurut Theo Van Leeuwen
Membicarakan sebuah makna tersirat dari sebuah
berita tidak lepas dari bagaimana sebuah teks hadir atau dihadirkan menjadi
sebuah kalimat. Pada berita cetak, suatu berita yang telah diamati oleh seorang
wartawan kemudian direpresetasikan kedalam teks berita, dalam proses
representasi berita yang berbentuk suatu kejadian tertentu menjadi susunan
teks, dapat diperhatikan bagaimana seorang wartawan menyampaikan sebuah
kenyataan, pembaca berita dapat memperhaikan bagaimana suatu kelompok
mendominasi wacana dalam berita tersebut.
Mendominasi wacana yang dimaksudkan adalah,
adanya kekuatan yang dimiliki oleh sebuah kelompok untuk memegang kendali
penafsiran pembaca dari sebuah berita. Dominasi yang terjadi dalam teks berita
berbentuk sebuah pencitraan media terhadap pelaku dan korban dalam sebuah
berita. Misalnya, kaum buruh, tani, pengemis, anak jalanan adalah golongan yang
meresahkan masyarakat. Atau demonstrasi mahasiswa yang marak bisa menjadi
contoh, bahwa mahasiswa dihadirkan dengan image bahwa mereka adalah kelompok
yang anarkis, sering merusak dan senang membuat rusuh. Segala bentuk pencitraan
seperti itu dilakukan hanya dengan merepresentasikan suatu kejadiaan yang benar
terjadi menjadi susunan teks dengan pilihan kata dan bentuk kalimat.
Dalam Analisis Wacana, Eriyanto menyampaikan
bahwa salah satu agen terpenting dalam mendefinisikan kelompok adalah media.
Lewat pemberitaan yang terus menerus disebarkan, media secara tidak langsung
membentuk pemahaman dan kesadaran di kepaala khalayak mengenai sesuatu. Wacana
yang dibuat oleh media itu bisa jadi melegitimasi suatu hal atau kelompok dan
mendelegitimasi atau memarginalkan kelompok lain. Kita seringkali merasa adanya
ketidak adilan dalam berita mengenai pemerkosaan terhadap wanita. Bagaimana
pihak yang menjadi korban ini digambarkan secara buruk, sehingga khalayak tidak
bersimpati dan justru lebih bersimpati kepada laki-laki yang menjadi pelaku.
Dalam kasus seperti ini, bahwa berita di media
menyampaikan sebuah wacana tertentu. Theo van Leeuwen memperkenalkan sebuah
model dalam analisis wacana, model analisis tersebut untuk mendeteksi atau
mengetahui bagaimana sebuah kelompok hadir sebagai kelompok yang dimarginalkan.
Secara umum, analisis van Leeuwen menampilkan
bagaimana pihak-pihak dan aktor (perorangan atau kelompok) ditampilkan dalam
pemberitaan. Menurutnya, terdapat dua titik focus perhatian. Pertama, proses
pengeluaran (exclusion) yaitu apakah dalam suatu teks berita ada kelompok atau
aktor yang dikeluarkan dalam pemberitaan, yang dimaksudkan dengan pengeluaran
seseorang atau aktor dalam pemberitaan adalah, perilaku menghilangkan atau
menyamarkan pelaku/aktor dalam berita, sehingga dalam berita korbanlah yang
menjadi peerhatian berita.
Proses pengeluaran ini secara tidak langsunng
bisa mengubah pemahaman khalayak akan suatu isu dan melegitimasi posisi
pemahaman tertentu. Katakanlah dalam berita mengenai “demonstrasi mahasiswa
yang berlangsung ricuh sehingga polisi melepaskan tembakan, akhirnya seorang
mahasiswa tewas karena tertembak”. Dari kejadian demonstrasi mahasiswa di atas,
apakah pemberitaan kemudian mengeluarkan polisi dari pemberitaan, sehingga
korban penembakan yang ditonjolkan dalam suatu berita, sehingga kesan yang
hadir kemudian bahwa mahasiswa yang melakukan demonstrasi pantas mendapatkan
tembakan hingga tewas.
Kedua adalah proses pemasukan (inclusion).
Proses ini adalah lawan dari proses exclusion, proses ini berhubungan dengan
pertanyaan bagaimana seseorang atau kelompok aktor dalam suatu kejadian
dimassukkan atau direpresentasikan ke dalam sebuah berita. Baik exclusion
maupun inclision, terdapat sebuah strategi wacana. Dengan menggunakan kata,
kalimat, informasi atau susunan bentuk kalimat tertentu, cara bercerita
tertentu, masing-masing kelompok dirempresentasikan ke dalam sebuah teks. Pada
pembahasan selanjutnya. Akan dijelaskan lebih detai tentang bagaimana pola kerja
exclusion dan inclusion dalam representasi aktor dalam berita.
Analisis Wacana Kritis Norman Fairclough
Norman Fairclough dikenal dengan pemikirannya
tentang analisis wacana kritis. Konsep yang ia bentuk menitikberatkan pada tiga
level, pertama, setiap teks secara bersamaan memiliki tiga fungsi, yaitu
representasi, relasi, dan identitas. Fungsi representasi berkaitan dengan
cara-cara yang dilakukan untuk menampilkan realitas sosial ke dalam bentuk
teks. Kedua, praktik wacana meliputi cara-cara para pekerja media
memproduksi teks. Hal ini berkaitan dengan wartawan itu sendiri selaku pribadi;
sifat jaringan kerja wartawan dengan sesama pekerja media lainnya; pola kerja
media sebagai institusi, seperti cara meliput berita, menulis berita, sampai
menjadi berita di dalam media.
Ketiga, praktik sosial-budaya menganalisis
tiga hal yaitu ekonomi, politik (khususnya berkaitan dengan isu-isu kekuasaan
dan ideologi) dan budaya (khususnya berkaitan dengan nilai dan identitas) yang
juga mempengaruhi istitusi media, dan wacananya. Pembahasan praktik sosial
budaya meliputi tiga tingkatan Tingkat situasional, berkaitan dengan produksi
dan konteks situasinya Tingkat institusional, berkaitan dengan pengaruh
institusi secara internal maupun eksternal. Tingkat sosial, berkaitan dengan
situasi yang lebih makro, seperti sistem politik, sistem ekonomi, dan sistem
budaya masyarakat secara keseluruhan.
Fairclough sebenarnya bukanlah akademisi ilmu
komunikasi. Dia meminati masalah kajian kritis wacana dalam teks berita dimulai
sejak tahun 1980-an. Dia melihat bagaimana penempatan dan fungsi bahasa dalam
hubungan sosial khususnya dalam kekuatan dominan dan ideologi. Faiclough
berpendapat bahwa analisis wacana kritis adalah, bagaimana bahasa menyebabkan
kelompok sosial yang ada bertarung dan mengajukan ideologinya masing-masing.
Konsep ini mengasumsikan dengan melihat praktik wacana bias jadi menampilkan
efek sebuah kepercayaan (ideologis) artinya wacana dapat memproduksi hubungan
kekuasaan yang tidak imbang antara kelas sosial, laki-laki dan wanita, kelompok
mayoritas dan minoritas dimana perbedaan itu direpresentasikan dalam praktik
sosial. Analisis Wacana melihat pemakaian bahasa tutur dan tulisan sebagai
praktik sosial. Praktik sosial dalam analisis wacana dipandang menyebabkan hubungan
yang saling berkaitan antara peristiwa yang bersifat melepaskan diri dari dari
sebuah realitas, dan struktur sosial.
Dalam memahami wacana (naskah/teks) kita tak
dapat melepaskan dari konteksnya. Untuk menemukan ”realitas” di balik teks kita
memerlukan penelusuran atas konteks produksi teks, konsumsi teks, dan aspek
sosial budaya yang mempengaruhi pembuatan teks. Dikarenakan dalam sebuah teks
tidak lepas akan kepentingan yang yang bersifat subjektif.
Didalam sebuah teks juga dibutuhkan
penekanannya pada makna (Meaning) (lebih jauhdari interpretasi dengan kemampuan
integratif, yaitu inderawi, daya piker dan akal budi) Artinya: Setelah kita
mendapat sebuah teks yang telah ada dan kita juga telah mendapat sebuah
gambarang tentang teori yang akan dipakai untuk membedah masalah, maka kita
langkah selanjutnya adalah kita memadukann kedua hal tersebut menjadi kesatuan
yaitu dengan adanya teks tersebut kita memakai sebuah teori untuk membedahnya.
Kemudian Norman Fairclough mengklasifikasikan
sebuah makna dalam analisis wacana sebagai berikut:
· Translation (mengemukakan
subtansi yang sama dengan media). Artinya: Pada dasarnya teks media massa bukan
realitas yang bebas nilai. Pada titik kesadaran pokok manusia, teks selalu
memuat kepentingan. Teks pada prinsipnya telah diambil sebagai realitas yang
memihak. Tentu saja teks dimanfaatkan untuk memenangkan pertarungan idea,
kepentingan atau ideologi tertentu kelas tertentu. Sedangkan sebagai seorang
peneliti memulainya dengan membuat sampel yang sistematis dari isi media dalam
berbagai kategori berdasarkan tujuan penelitian.
· Interpreatation (berpegang
pada materi yang ada, dicari latarbelakang, konteks agar dapat dikemukakan
konsep yang lebih jelas). Artinya: Kita konsen terhadap satu pokok permasalahan
supaya dalam menafsirkan sebuah teks tersebut kita bisa mendapat latar belakang
dari masalah tersebut sehingga kemudian kita bisa menentukan sebuah konsep
rumusan masalah untuk membedah masalah tersebut.
· Ekstrapolasi (menekankan
pada daya pikir untuk menangkap hal dibalik yang tersajikan). Artinya: kita
harus memakai sebuah teori untuk bisa menganalisis masalah tersebut, karena
degnan teori tersebut kita bisa dengan mudah menentukan isi dari teks yang ada
· Meaning (lebih
jauh dari interpretasi dengan kemampuan integrative, yaitu inderawi, daya piker
dan akal budi). Artinya: Setelah kita mendapat sebuah teks yang telah ada dan
kita juga telah mendapat sebuah gambarang tentang teori yang akan dipakai untuk
membedah masalah, maka kita langkah selanjutnya adalah kita memadukann kedua
hal tersebut menjadi kesatuan yaitu dengan adanya teks tersebut kita memakai
sebuah teori untuk membedahnya.
Dan menurutnya dalam analisis wacana Norman
Fairclough juga memberikan tingkatan, seperti sebagai berikut:
· Analisis
Mikrostruktur (Proses produksi): menganalisis teks dengan cermat
dan fokus supaya dapat memperoleh data yang dapat menggambarkan representasi
teks. Dan juga secara detail aspek yang dikejar dalam tingkat analisis ini
adalah garis besar atau isi teks, lokasi, sikap dan tindakan tokoh tersebut dan
seterusnya.
· Analisis
Mesostruktur (Proses interpretasi): terfokus pada dua aspek yaitu
produksi teks dan konsumsi teks.
· Analisis
Makrostruktur (Proses wacana) terfokus pada fenomena dimana teks
dibuat.
Dengan demikian, menurut Norman Fairclough
untuk memahami wacana (naskah/teks) kita tak dapat melepaskan dari konteksnya.
Untuk menemukan ”realitas” di balik teks kita memerlukan
penelusuran atas konteks produksi teks, konsumsi teks, dan aspek sosial budaya
yang mempengaruhi pembuatan teks. (Sumber: Analisis Wacana/ cetakan II Februari
2009, Eriyanto).
Pendekatan terhadap
Fenomena Perspektif dalam Studi Wacana
Fenomena perspektif dapat
dikaji dalam tiga pendekatan yaitu visi, fokalisasi, dan empati. Visiadalah
penekatan yang lebih mendasarkan diri pada bidang sosiologi politik dan
mengaitkan kajian perspektif dengan ideologi. Fokalisasi merupakan pendekatan yang
memasukkan teori naratif dalam analisisnya. Seorang narator dapat menjadi seorang
individu lain yang telah atau sedang menyaksikan peristiwa. Pendekatan ini
lazim digunakan dalam sastra. Wartawan pun dapat menggunakan pendekatan ini
dalam menulis features berita yang dapat
mengungkapkan unsur emosi yang bersifat sugestif dan reflektif..
Pendekatan empati mendasarkan diri pada bidang
psikolinguistik. Pembicara mengenalkan seseorang atau objek yang merupakan
bagian dari peristiwa yang dideskripsikan dalam kalimat.
Pengkajian perspektif
(kekuasan) dalam surat kabar Indonesia dapat memanfaatkan pendekatan
visi, bertujuan mengungkap aspek-aspek ideologi yang mendasari dan membentuk
perspektif pemberitaan surat kabar di Indonesia. Mereproduksi pemikiran van
Dijk tentang analisis wacana media, berikut dipaparkan strategi penyajian
informasi (SPI) dan bentuk-bentuk ekspresi bahasa.
1. Strategi Penyajian Informasi
Dalam wacana tulis atau
teks, perspektif dibangun sejak penulis memutuskan apa yang dipilih sebagai
tema dalam tulisannya. Tema merupakan apa yang dipakai penulis sebagai titik
tolak permulan tulisannya. Pemilihan tema tertentu
sebagai titik tolak pembicaraan akan mendasari pengembangan tulisannya lebih
lanjut dan membawa konsekuensi pada masuknya informasi-informasi tertentu, baik
berupa keadaan, kejadian, atau peristiwa serta partisipan-partisipan yang
relevan.
Selain pilihan tema,
perspektif juga dibangun melalui pemilihan judul. Judul wacana berbeda
dengan topik, judul dalam hal ini berfungsi sebagai upaya tematisasi. Upaya
tematisasi menggunakan judul ini selain menjadi titik tolak pengembangan
mengenai informasi yang relevan dengan tulisan, juga memiliki titik tolak
membatasi tafsiran makna dari informasi yang dikembangkan dalam isi berita.
Lima judul berita tentang sekolah berprestasi dan ujian nasional (UN)
ditulis media yang sama berikut ini memiliki perspektif berbeda.
(1) UN Pemetaan Mutu yang Penuh
Kejutan (Kompas, 10/4/07)
(2) Mereka Punya Kiat “Menaklukkan”
UN (Kompas, 11/4/07)
(3) Ujian Nasional dan Kultur Akademik
(Kompas, 12/4/07)
(4) Dari Bangil untuk Indonesia …(11/4/07)
(5) Ujian Nasional
“Algojo Itu Telah Datang… (Kompas Yogya,
18/4/07)
Berdasar ke lima judul
berita tersebut wartawan kompas mengajak pembaca mentertawakan kekerasan yang
dilakukan oleh negara dengan penyelenggaraan UN yang kurang jelas parameter
mutunya (1) kurang tepat dalam proses ujiannya, (2)
salah dalam penilaian proses belajar, (3)
dan parameter kemajuan sekolah dibandingkan sekolah lain, (4) monster yang menakutkan siswa, (5) Demikian juga dalam headline tentang
kekerasan di IPDN, wartawan menulis judul berikut dengan pespektif yang
berbeda.
(6) IPDN Tunda Terima Praja Baru
I Nyoman
Sumaryadi Dilaporkan ke Mabes Polri (Kompas 10/4/07)
(7) DPR Harus Ikut Selidiki IPDN
Penonaktifan Inu Kencana
sebagai Pengajar Dipertanyakan IPDN (Kompas 11/4/07)
(8) DPRD Sulut Minta Pembubaran IPDN
Formalin Kaburkan
Penyebab Kematian Cliff Muntu (Kompas, 11/4/07)
(9) IPDN Harus
Disesuaikan UU
(10) Terpidana
Kasus Kematian Wahyu Hidayat Belum Dieksekusi. (Kompas, 12/4/07)
Berdasarkan ke empat
judul tersebut pemerintah menghentikan tidak menerima praja baru 2007/2008
menyusul kematian Cliff Muntu akibat kekerasan seniornya, DPR harus segera
turun tangan menyelidiki kekerasan di IPDN, apalagi seorang dosen yang kritis
dinonaktifkan (7), 17 anggota DPRD sulut meminta kepada Depdagri membubarkan
IPDN, menyusul kematian Cliff Muntu, praja asal Sulut (8), dan Depdiknas
mendorong IPDN dan lembaga pendidikan lain di bawah departemen atau lembaga pemerintah
nondepartemen menyesuaikan diri dengan ketentuan dalam Undang-undang No 20
tentang Sistem Pendidikan Nasional (9) Sedanga data (10) adalah ketakutan
siswa dalam menyongsong Unas.
2. Bentuk Bentuk Ekspresi
Bahasa
Perspektif dalam produksi
bahasa ternyata tidak hanya dapat diamati keberadaannya dalam struktur wacana
tetapi dapat juga diamati dalam struktur yang lebih rendah dari wacana.
Perspektif suatu ideologi dipengaruhi secara sistematis pada pemilihan
bentuk-bentuk ekspresi linguistik baik pada tatanan leksikal (kosakata),
sintaksis (kalimat) dan wacana seperti pemakaian kosakata, sistem
ketransitifan, struktur nominalisasi, modalitas, tindak tutur, metafora, dan
struktur informasi.
a. Kosakata
Pemakaian kosakata bukan
semata persoalan teknis tetapi sebagai praktik ideologi. Pilihan kata dalam
suatu teks menandai secara sosial dan ideologis bidang pengalaman yang
berbeda dari penulisanya baik berupa nilai eksperiental, nilai
relasional, dan nilai ekspresif. Nilai eksperientalberkaitan dengan
pengetahuan dan keyakinan yang dibawakan oleh kata-kata tersebut. Nilai
rasional berkaitan dengan dengan hubungan-hubungan sosial yang tercipta oleh
kata tersebut. Nilai ekspresifberkaitan dengan pemilihan
atau evaluasi tentang sesuatu yang dicerminkan oleh kata tersebut. Perkosaan
dapat dimaknai “memperkosa, meniduri, menindih, menggagahi, menodai,
memerawani, dst”. Pembunuhan dapat diganti dengan “digebug”,
“dilibas”, “diamankan dan “disukabumikan”
b. Sistem Ketransitifan
Menurut Fowler bahasa dipandang
sebagai model yang mengubungkan antara objek dan peristiwa. Terdapat tiga
model transitifitas yaitu transitif, intransitive dan relasional. Dalam
model transitif berhubungan dengan proses melihat suatu tindakan dan
bagian-bagian lain sebagai akibat suatu tindakan. “Polisi memukul
mahasiswa” adalah bentuk transitif. Polisi sebagai aktor yang
menyebabkan suatu tindakan melakukan sesuatu “memukul”. Model intransitif
seorang aktor dihubungkan dengan suatu proses tetapi tanpa menjelaskan atau
menggmbarkan akibat atau objek yang dikenai. “Polisi menembak”, “Polisi
mengamankan”. Sedangkan model relasional menggambarkan sama-sama kata
benda. “Korban Polisi itu adalah seorang ayah dari seorang balita”.Hubungan
juga bersifat atributi, benda dihubungkan dengan kata sifat
untuk menunjukkan kualitas atau penilaian tertentu. Misalnya “Polisi
itu sangat garang”
Bentuk transitif
memasukkan suatu pandangan dan sikap penulis yang berbeda tentang peristiwa
yang dilaporkan, Berikut disajikan klausa yang memiliki berbagai perspektif.
(10) Polisi menembak mati
enam demonstran
(11) Enam demosntran ditembak mati
(12) Enam demosntan tewas
(13) “Enam demosntran ditembak mati” Ujar saksi mata
(14) Saksi mata melihat enam demosntran mati tertembak
(15) Enam mahasiswa yang tewas itu diantaranya Elang Mulya
Lesmana, Hendriawan Sie, dan Hafidin R…
c. Struktur Nominalisasi
Nominalisasi adalah
transformasi sintaksis secara radikal dalam suatu klausa, yang memiliki
konsekuensi struktural yang luas dan memberikan kesempatan menyampaikan
ideologi. Dalam bahasa Indonesia predikat verba direalisasikan secara
sintaksis menjadi nomina. Salah satunya dilakukan dengan memberi
imbuhan “pe-an”. Kata memperkosa
menjadi perkosan, membunuh menjadi pembunuhan, menembak menjadi
penembakan. Contoh berikut ini
memiliki perspektif berbeda:
(16) Seorang ayah memperkosa anak
gadisnya sendiri yang berusia 12 tahun.
(17) Perkosaan menimpa
anak gadis yang beru berumur 12 tahun.
(18) Polisi menembak secara
membabi-buta dalam insiden Semanggi
(19) Penembakan secara
membabi buta terjadi dalam insiden Semanggi.
d. Modalitas
Modalitas diartikan
sebagai komentar atau sikap yang berasal dari teks, baik secara eksplisit atau
implisit diberikan oleh penulis terhadap apa yang dilaporkan, yakni keadaan,
peristiwa, dan tindakan. Modalitas memiliki peluang besar untuk digunakan
jurnalis dalam membangun perspektif pemberitaan yang mempengaruhi opini
pembaca. Dengan modalitas, penulis dapat memasukkan pandangan pribadi atau
institusinya ke dalam proposisi yang ditulisnya melalui pilihan modalitas.
Modalitas sebagai komentar atau sikap penulis yang tertuang dalam teks dibagi
menjadi empat yaitu (1) kebenaran, (2) keharusan, (3) izin, (4) keinginan.
Contoh berikut modalitas yang menyiratkan pespektif pemberitaan.
(20) Tommy Soeharto harus ditangkap
(21) Tommy Soeharto seharusnya ditangkap
(22) Tommy Soeharto bisa ditangkap
(23) Tommy Soeharto mungkin ditangkap
(24) Tommy Soeharto tidak akan tertangkap
(25) Tindakan penangkapan Tommy Soeharto
dinilai sangat tepat
Pemakaian modalitas harus,
seharusnya, dan sangat tepat pada (20), (21), dan (25) menunjukkan
dukungan tindakan yang tercermin dalam proposisi. Sementara (22) dan (23)
memperlihatkan sikap netral bila dibandingkan dengan (20), (22) dan (25)
e. Tindak Tutur
Bentuk ekspresi bahasa
yang dapat digunakan untuk menunjukkan perbedaan perspektif adalah
elemen-elemen interpersonal seperti tindak tutur (Speech acts). Pandangan
yang melandasi tindak tutur, jika orang mengatakan sesuatu, orang akan
melakukan sesuatu untuk tuturan itu. Hal itu merupakan aspek dalam fungsi
interpersonal bahasa. Contoh (26) dan (27) berikut dapat menjelaskan
tindak tutur yang dapat menimbulkan perspektif berbeda. (26) Ada unjuk
rasa, (27) Kongres Umat
Islam merekomendasikan presiden dan wapres mendatang harus pria, beriman, dan
bertaqwa (Jawa Pos, 7/11/8).
Pada tuturan (26)
dituturkan oleh seorang polisi, tidak sekedar menginformasikan sesuatu,tetapi
juga berfungsi sebagai perintah ke lokasi untuk pengamanan. Hal itu
berbeda maknanya jika dituturkan oleh mahasiswa di kampus, ujaran itu bukan
informasi tetapi ajakan. Demikian pula dalam (27), bagi mereka yang
mengikuti perkembangan pasca Pemilu 1999, maka dengan cepat dapat
menangkap bahwa ilokusi yang tersirat yang menghambat megawati Soekarno Putri
maju menjadi presiden.
f. Metafora
Menurut Aristoteles
seperti yang dikutib Abdul Wahab, metafora merupakan ungkapan kebahasaan yang menyatakan
uangkapan kebahasaan yang menyatakan hal-hal yang bersifat umum untuk hal-hal
yang bersifat khusus dan sebaliknya. Metafora digunakan sebagai ungkapan
kebahasaan yang maknanya tidak bisa dijangkau secara langsung dari
lambang karena makna yang dimaksud terdapat pada predikasi ungkapan kebahasaan
itu. Artinya, metafora merupakan pemahaman pengalaman sejenis hal yang
dimaksudkan untuk perihal lain. Metafora digunakan jurnalis untuk membangun
perspektif dalam surat kabar. Berikut adalah contoh metafora yang dapat
menimbulkan perspektif berbeda
(28) Gelombang mahasiswa
mendatangi Gedung DPR Senayan mendesak agar anggota dewan ikut mengusut 4
mahaiswa yang ditembak di Universita Trisakti
(29) Ibarat pemain
sepakbola, saat ini penyelesaian utang PT Garuda Indonesia sduah memasuki injury
time, tinggal menunggu peluit panjang.
Metaforik gelombang untuk
menggambarkan laut yang bergulung-gulung dan menakutkan (28) metaforik injury
time menggambarkan sedikitnya waktu PT Garuda Indonesia untuk melunasi
utang.
(30) Debitor Nakal Perlu
Dicekal
(31) Amin, Gus Dur, Hamzah, dan Nur Mahmudi Bertemu
Mereka
Bahas “Buah Simalakama” Mega
Kata nakal dalam (30)
memiliki adanya tiga kesamaan sifat nakal yaitu (1) masih kanak-kanak, sehingga
kurang mampu membedakan mana yang benar dan mana yan salah, (2) sudah tahu
aturan yang sudah disepakati tetapi tetap saja melanggar, (3) sudah
dinasihati tetapi tidak memperbaiki. Demikain dengan “buah simalakama”, jika
Megawati terpilih menjadi presiden keadaan belum tentu bertambah baik.
Sebaliknya jika Megawati tidak terpilih akan berpotensi buruk. Bagi partai
berbasis massa Islam perempuan memang tidak diijinkan menjadi pemimpin.
Kita perlu memahami praktik diskursif dari
komunitas pemakai bahasa yang disebut sebagaiorder of discourse. Ketika menganalisis
teks berita Sebelum dimensi tersebut dianalisis perlu melihat dulu oder
of discourse, apakah bentuknya hardnews, features, artikel, atau editorial.
Ini akan membantu peneliti untuk memaknai
teks, produksi teks, dan konteks sosisal dari teks yang dihasilkan.Order of discourse secara
sederhana seperti layaknya pakaian: pakaian di kantor berbeda dengan
pakaian tidur dan pakaian renang. Pemakaian bahasa menyesuaikan dengan praktik
diskursif di tempat mana ia berdada, ia tidak bebas memakai bahasa.
Paparan berikut ini
merupakan contoh manifestasi perspektif pemberitaan surat kabar Indonesia
dalam bentuk ekspresi bahasa. Data diambil dari berita media pasca reformasi,
Mei-Juli 1999, satu tahun runtuhnya rejim Soeharto.
Pilihan Kata
Berikut dicontohkan
pilihan kata tentang “penyelidikan harta mantan Presiden Soeharto Rp
120 triliun di Bank Swiss”
(32) Pakar hukum pidana dari
Univesitas Gadjah Mada Yogyakarta, Prof. Dr. Bambang Purnomo, S.H.
menilai langkah Habibie mengirim Jaksa Agung dan Menteri Kehakiman ke Swiss dan
Austria untuk menyelidiki kebenaran harta Soeharto tidak akan efektif karena
diumumkan secara terbuka.
(33) Ketua Gempita (Gerakan
Peduli Harta Negara_ Dr. Albert Hasibuan, S.H. merasa pesimis pemerintah
sekarang bisa mengusut dan mengadili mantan Presiden Soeharto.
(34) Berbagai kalangan pesimis, dengan hasil yang bakal
dicapai oleh Tim yang dipimpin oleh Jaksa Agung Andi Ghalib yang akan berangkat
ke Swiss dan Austria.
(35) Pesimisme seperti itu juga dikemukakan
oleh Wakil Ketua Komisi VIII DPR-RI Syaiful Anar Hussein
(36) Di Ujung Pandang , Ketua
Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Amien Rais menyatakan tidak percayaupaya
Muladi-Ghalib ke Austria dan Swiss untuk melacak kekayaan Soeharto dapat
membuahkan hasil
(37) Perjalanan Andi Ghalib
dan Muladi ke Swiss dan Austria adalah sandiwara politik dan
hampir tidak ada maknanya.
(38) Upaya tesebut hanya
sia-sia dan merupakan lelucon politik selama Soeharto belum dijadikan
tesangka)
Perbedaan pengalaman para
wartawan atau surat kabarnya tentang “penyelidikan harta Soeharto ke
Swiss dan Austria oleh Muladi dan Ghalib” secara jelas diwujudkan
dalam enam pilihan kata tidak akan efektif, merasa pesimis, pesimisme,
tidak percaya, sandiwara politik, dan hanya sia-sia.
Struktur Informasi
Pengaturan struktur
informasi atau organisasi isi proposisi dalam kalimat atas informasi latar dan
informasi baru dapat dipergunakan menandai perspektif pemberitaan. Perspektif
pemberitaan akan telihat dari memilihan bagian proposisi tertentu sebagai
informasi baru dan bagian proposisi lain sebagai informasi latar. Berikut
contoh fenomena pengaturan informasi.
(39) Sebelum bentrok
sebenarnya sempat dilakukan negosiasi dengan tawaran 50 wakil PRD berdialog
dengan KPU di ruang sidang, dengan catatan yang lain menunggu di jalan.
(40) Sebelum terjadi
bentrokan, aparat keamanan yang menjaga pintu masuk kantor KPU di Jalan Imam
Bonjol, Jakarta Pusat, sempat membiarkan pengunjuk rasa dengan atribut PRD
lengkap di sekujur tubuh mereka membaswakan orasi 50 menit..
Kedua proporsisi di atas
menginformasikan tentang bentrokan antara PRD dengan aparat kepolisian di KPU.
Perbedaan itu tampak dalam proposisi pengisi informasi latar baru. Jika
disederhanakan , struktur proposisi kedua data (39) dan (40) adalah sebagai
berikut.
(39a) Bentrok PRD dan polisi—negosiasi
PRD dan polisi, 50 perwakilan PRD bertemu wakil KPU—bentrok PRD dan Polisi
28 luka-luka .
(40a) Bentrok PRD dan
Polisi—PRD dibiarkan polisi berorasi 50 menit—aparat keamanan membubarkan
orsi PRD—bentrok polisi dengan PRD 28 luka-luka.
Pada kedua data tersebut
yang ditulis dengan huruf miring adalah data informasi baru dan yang ditulis
dengan huruf tegak adalah informasi latar. Untuk mendukung analisis ini,
berikut disajikan kalimat yang mendahului kedua kalima tersebut.
(41) Pengamat kepolisian Prof.
Dr. Satjipto Rahardjo, S.H. menyatakan, insiden penembakan massa PRD oleh
aparat keamanan justru bertepatan dengan peringatan hari Bhayangkara
makin memperburuk momentum tersebut
(42) Demontrasi fanatik
sekitar 500 massa Partai Rakyat Demokratik (PRD) di depan Gedung KPU, kemarin
berubah berdarah.
Dari struktur proposisi pada data (39) dan konteks data
sebelumnya (41) terlihat bahwa proposisi Demo PRD merupakan
informasi latar.Kedua informasi itu dapat ditemukan rujukannya dalam data
(41) yakni penembakan massa PRD pada hari Bhayangkara makin memperburuk
citra polisi. Sementara itu, proposisi demonstrasi fanatik sekira 500 massa PRD
berubah berdarah tidak ditemukan dalam rujukannya. Perbedaan Proposisi pengisi informasi latar baru
dapat dilihat dalam tabel berikut.
Data
|
Informasi Latar
|
Informasi baru
|
39
|
Bentrok di
KPU antara PRD dan Polisi
|
Negosiasi 50
perwakilan PRD berdialog dengan KPU
|
40
|
Bentrok di
KPU antara PRD dan Polisi
|
Polisi
membiarkan PRD berorasi 50 menit
|
Dari tabel tesebut dapat
disimpulkan bahwa proposisi yang mengisi informasi latar sama yaituBentrok
di KPU antara PRD dan Polisi, namun informasi baru yang dimunculkan
oleh wartawan berbeda yaitru Negosiasi 50 perwakilan PRD
berdialog dengan anggota KPU (Suara Pembaruan) danPolisi membiarkan
PRD berorasi 50 menit (Media
Indonesia).
Berdasarkan struktur dan
konteks kedua data, serta pra-anggapan masing-masing
pengisi informasi latar dan informasi baru disimpulkan bahwa surat kabar Suara
Pembaruan pro masyarakat. Seharusnya polisi tidak perlu bentrok dengan PRD,
apalagi dengan menembak, menendang, memukul,dan menginjak-injak.
D. Penutup
Analisis wacana
berdasarkan perspektif
sosiokultural pada dasarnya menggunakan pola analisis teks, preses produksi
teks, dan konteks. Analisis teks digunakan untuk melihat struktur teksnyan
untuk memahami struktur kata, kalimat, dan makna. Pada langkah
selanjutnya penganalisis memahami proses produksi teks dengan menganalisis
struktur tema dan konteks sosial budaya teks itu dihasilkan.
Baik van
Dijk maupun Fairclouch masih sepakat memahami wacana dari teks. Namun
keduanya masih melengkapi pemahaman teks itu dengan memahami kognisi
sosial dan konteks (van Dijk) dan proses produksi dan proses interpretasi
bedasarkan konteks sosial budaya.
Dalam
hubungannya dengan aspek produksi kekerasan oleh media
sangat tergantung bagaimana teks tersebut dikonstruksi oleh orang-orang di
belakangnya berkait dengan sistem politik, ekonomi, dan struktur budaya media.
Sekreatif apa pun, manusia sebagai “diri’
merupakan pencipta makna dalam bahasa atau karya seni. Manusia tidak hanya
subjek perajut makna kata dan makna estetika, tetapi pada saat bersamaan,
distrukturkan oleh sistem tanda atau kode bahasa yang ada. Artinya, manusia
dikonstruksi oleh kode bahasa dan ia harus patuh mengikuti kode tanda ini bila
mau berkomunikasi dalam wacana dengan sesamanya.
Dengan kata lain, diri manusia dihadapkan pada
kode-kode bahasa yang merupakan konsensus-konsensus dan konvensi bersama
masyarakat pengguna bahasa mengenai makna kata, nuansa bahasa yang dalam sistem
tanda dirumuskan menjadi semiotika. Kemudian, dalam perkembangan wacana yang
dinamis, kode tanda bahasa yang diaksarakan dan menjadi simbol-simbol yang
lebih luas dari cakupan bahasa sementara ini disepakati sebagai teks. Di
sinilah letak pentingnya memahami dan menangkap kode bahasa dan artinya dari
teks melalui dialog-dialog bukan hirarkis atau dikotomis dua posisi (oposisi
biner) tetapi antar teks (intertextuality).
Untuk memahami kode bahasa dalam menangkap
makna teks itu, ilmu menafsirkan teks yaitu hermeneutika diluaskan dari teks
eksegese (menafsir teks-teks kitab suci) menjadi hermeneutika tekstual antar
teks berkat jasa Dilthey dan tokoh Gadamer---yang berutang budi pada Martin
Heidegger lantaran bahasa eksistensi meng-ada manusia sebagai Dasein dalam
ruang dan waktu harus diperbarui agar manusia menjadi sang pendengar Sabda dan
sang pencipta bahasa.
Hermeneutika teks dalam konteks diri manusia
dengan relasi sosialnya, dan dalam relasi berbahasa dan berelasi sistem tanda
itulah dirumuskan “siapa aku atau diri ini dan siapa diri yang lain atau ‘the
other’ (alterity) itu?
Bila tafsirannya “terlalu menyempit” pada
identitas diri secara relasi politis yang muncul hanyalah keramaian
wacana-wacana politik identitas dalam pidator retorik tanpa studi
penafsiran-penafsiran teks yang mendalam apalagi antar teks.
Namun, kode bahasa
yang digunakan secara kreatif untuk bersastra tekstual tertulis bisa amat
memperjuangkan pemuliaan diri manusia merdeka, egaliter Indonesia melawan
seluruh konstruksi-konstruksi kultur yang menjajah, feodal dan memperbudak.
Sumber: materipmii.blogspot.co.id
Post a Comment