GENEOLOGI PMII
GENEOLOGI PMII
A. Cikal Bakal Berdirinya PMII
Ide besar berdirinya Pergerakan Mahasiswa Islam
Indonesia (PMII) bermula dari kemauan yang kuat dari mahasiswa Nahdliyyin, yang
ada pada saat itu tidak biasa dipisahkan dari eksistensi IPNU-IPPNU karena
secara histories PMII merupakan mata rantai dari perguruan tinggi IPNU yang di
bentuk pada muktamar ke III IPNU di Cerebon pada tanggal 27-31 Desember 1958. Puncak
dari perjungan untuk mendirikan organisasi mahasiswa NU adalah ketika IPNU
mengadakan konferensi besar di Kaliurang Yogyakarta pada Tanggal 14-17 Maret 1990
dan akhirnya di bentuk tim khusus yang terdiri dari 13 orang untuk mengadakan
musyawarah mahasiswa NU di Surabaya pada Tanggal 14-16 April 1990 dengan limit
waktu satu bulan setengah setelah keputusan di Kaliurang. banyak usulan nama
yang disampaikan di antaranya adalah IMANU (Ikatan Mahasiswa Nahdlotul Ulama)
dari Jakarta, Persatuan Himpunan Mahasiswa Sunni dari Yogyakarta, dan Pergerakan
Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dari delegasi Bandung dan Surabaya, dari
ketiga usulan nama tersebut akhirnya PMII-lah yang disetujui oleh forum pada
tanggal 17 April 1960 di Surabaya. Semenjak proses kelahirannya, PMII pada
waktu itu secara structural masih menjadi Underbouw NU di bawah IPNU dan
nampaknya lebih di maksudkan sebagai alat untuk memperkuat partai NU, karena
kondisi social politik pada waktu itu patronase, gerakan mahasiswa masih
menjadi bagian dari gerakan politik.
Mengenai makna PMII sendiri mulai dari kata “Pergerakan”
adalah bahwa mahasiswa sebagai insan yang sadar untuk membina dan mengembangkan
potensi ketuhanan dan kemanusiaan agar gerak dinamika menuju tujuannya selalu
berada dalam kualitas tinggi yang mempunyai identitas dan eksistensi diri
sebagai Kholifah Fil Ard, kata “Mahasiswa” yang terkandung di
dalamnya adalah golongan generasi muda yang menuntut ilmu di perguruan tinggi
yang mempunyai kebebasan dalam berfikir, bersikap, dan beritndak kritis terhadap
kemapanan struktur yang menindas, disamping itu mahasiswa ala PMII adalah
sebagai insan religius, akademis, social, dan dan insan mandiri. Kata “Islam”
yang terkandung dalam PMII adalah islam sebagai agama pembebas terhadap
fenomina realitas social dengan paradigma ahlussunnah wal jamaah yang
itu konsep pendekatan terhadap ajaran agama islam secara profesional antara Iman,
Islam dan Ihsan yang di dalam pola pikir prilaku tercermin sifat-sifat
selektif, akomodatif, dan dan integratif. Sedangkan makna dari kata “Indonesia”
yang terkandung dalam PMII adalah masyarakat, bangsa dan negara Indonesia yang
mempunyai falsafah idiologi bangsa (pancasila) dan UUD 1945 dengan kesadaran
akan keutuhan bangsa serta mempunyai kesadaran akan wawasan nusantara.
B. Reformulasi dan Reorientasi Pergerakan PMII
Pada awal berdirinya PMII masih menjadi
anderbouw NU baik secara structural (IPNU) maupun fungsionarisnya, karena pada
waktu itu situasi politik sangat panas dan banyak dari organisasi mahasiswa berafiliasi
dengan kekuatan partai politik untuk sepenuhnya mendukung dan menyokong
kemenangan partai, jadi gerakan PMII masih cenderung kepolitik praktis. Hal ini
terjadi sampai tahun 1972.
Dalam perjalanan sejarahnya terus mengadakan
refleksi aksi, gerakan yang selama ini diambilnya untuk menjadi cermin
transformatif bagi gerakan-gerakan PMII di masa yang akan datang. Keterlibatan
PMII dalam politik praktis yang terlalu jauh dalam pemilu 1971 akhirnya sangat
merugikan PMII itu sendiri sebagia organisasi mahasiswa, yang akibatnya PMII
mengalami banyak kemunduran dalam segala aspek gerakan. Hal ini juga berakibat
buruk terhadap cabang PMII di beberapa daerah.
Kondisi ini akhirnya menyadarkan PMII untuk
mengkaji ulang gerakan yang selama ini di lakukannya, khususnya dalam dunia
politik praktis. Setelah melalui perbincangan yang mendalam, maka pada
musyawarah besar (MUBES) tanggal 14-16 juli 1972 PMII mencetuskan deklarasi
independen di Munarjati, Lawang, Malang, Jawa Timur yang lebih dikenal dengan “Deklarasi
Menarjati”. Sejak saat itulah PMII secara formal structural berpisah dengan NU.
Dan langsung membuka akses dan ruang yang sebear-besarnya tanpa berpihak pada
salah satu partai politik apapun. Hingga kini independensi itu masih di
pertahankan dan di pertegas dengan penegasan Cibogo pada tanggal 8 Oktober 1998.
Bentuk dari independensi itu sebagai upaya merespon dan moderennitas bangsa,
dengan menjunjung tinggi nilai etik dan moral serta idialisme yang dijiwai oleh
ajaran Islam Ahlus Sunah Wal Jamaah. Sampai kemudian PMII
melakukan reformulasi gerakan pada kongres X PMII pada tanggal 27 oktober 1991
di asrama haji pondok gede Jakarta. Pada kongres tersebut ada keinginan untuk
mempertegas kembali hubungan PMII dengan NU yang akhirnya melahirkan pernyataan
“deklarasi interdependensi PMII-NU” penegasan hubungan itu di dasarkan pada
pemikiran antara lain:
1.
Adanya ikatan kesejarahan yang
mempertautkan PMII dengan NU. Adapun kehidupan PMII menyatakan dirinya sebagai
organisasi independen, hendaknya tidak di pahami secara sempit sebagai upaya
mengurangi apalagi menghapus arti ikatan kesejahteraan tersebut.
2.
Adanya kesamaan paham
keagamaan dan kebangsaan. Bagi PMII dan NU keutuhan komitmen ke-Islaman dan ke-Indonesiaan
merupakan perwujudan beragama dan berbangsa bagi bangsa Indonesia.
C. Menata Gerakan PMII
Perubahan dalam system politik nasional yang
pada akhirnya membawa dampak pada dinamika ormas-ormas mahasiswa termasuk PMII
sendiri, di samping sifat kritis yang sangat di butuhkan mendorong para aktivis
PMII secara dinamis adalah sikap yang mampu merumuskan visi, pandangan dan
cita-cita mahasiswa sebagai agent of social change.
Sebenarnya pada era tahun 1980-an, PMII mulai
serius masuk dan melakukan advokasi-advokasi terhdap masyarakat serta menemukan
kesadaran baru dalam menentukan pilihan dan corak gerakan. Setidaknya ada dua
momentum yang ikut mewarnai pergulatan pergerakan PMII pada wilayah kebangsaan.
1.
Penerimaan pancasila
sebagai satu-satunya asas tunggal
2.
Kembalinya NU ke khitthah
1926 pada tahun 1984. pada saat itu PMII mampu memposisikan peran yang sangat
setraegis karena:
1)
PMII memberikan priorotas
kepada pengembangan intelektualitas.
2)
PMII menghindari dari
praktek politik praktis dan bergerak di wilayah pemberdayaan civil society.
3)
PMII lebih mengembangkan
sifat kritis terhadap negera.
Pada periode tahun 1985-an PMII juga melakukan
reorientasi dan reposisi gerakan yang akhirnya menghasilkan Nalai Dasar
Pergerakan (NDP). Sepanjang tahun 1990-an PMII telah melakukan diskursif-diskursif
serta isu-isu penting seperti Islam transformatif, demokrasi dan pluralisme,
civil society, masyarakat komunikatif, teori kritis dan pos-modernisme.
Seiring naiknya gus Dur menjadi orang nomor
wahid keempat di Indonesia secara serta merta aktivis PMII mengalami
kebingungan apakah civil society harus berakhir ketika gus Dur yang selama ini
menjadi tokoh dan simpul tali pejuangan civil society naik ketampuk kekuasaan.
Dan ketika gus Dur dijatuhkan dari kursi presiden, paradigma yang selama ini
menjadi arah gerak PMII telah patah. Paradigma ini kemudian diganti dengan
pradigma Kritis Transformatif.
Pernyataan yang timbul bagaimana kita sebagai kader
PMII harus bersikap?
Adalah suatu keniscayaan dan tanggung jawab
besar kita sebagai generasi penerus bangsa umumnya dan kader PMII pada
khususnya untuk berfikir kritis pada setiap kebijakan negara yang kadang sama sekali tidak memihak pada
rakyat kecil dan cenderung menginjak begitupun secara mikro kebijakan yang ada
dilingkungan tempat tinggal kita. Selanjutnya setelah itu, kita sebagai kader
pergerakan harus mampu mengawal perubahan kearah yang lebih baik serta
responsive terhadap realitas social yang ada.
Landasan-landasan dalam Pergerakan
Mahasiswa Islam Indonesia (PMII):
ü Landasan filosofis PMII adalah nilai dasar pergerakan
(NDP) yang disitu ada hablum minallah (Hubungan Manusia dengan Tuhan),
hablum minannans (Hubungan Manusia dengan Manusia), dan hablum minal
alam (Hubungan Manusia dengan Alam).
ü Landasan berfikir PMII adalah ASWAJA yang didalamnya
ada tasamuh (toleransi), tawazun (proporsional/keseimbangan), tawassuth
(moderat), ta’addul (keadilan), yang dijadikan manhajul al-fikr
(metodologi berfikir) dan sebagai instrumen perubahan.
ü Landasan pradigmatisnya adalah Pradigma Kritis
Transformatif yang dijadikan perangkat analisa perubahan yang mencita-citakan
perubahan yang lebih baik di semua bidang. Ketiga landasan itulah yang
dujadikan acuan yang harus dimiliki oleh setiap kader PMII.
ASWAJA DAN NDP
ASWAJA dalam pemahaman PMII
Kita pernah tahu bahwa ahlussunnah wal
jama’ah (ASWAJA) adalah mazhab keislaman yang menjadi dasar jami’iyah Nahdhatul
Ulama’ (NU) sebagai manhajul al-fikr yang di rumuskan oleh hadhratus
syaikh K.H. M. Hasyim Asy’ari dalam Qunun Asasi. Yaitu:
Dalam Ilmu Aqidah/ teologi mengikuti salah satu
dari Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Mansyur Al-Maturidi.
Dalam Syariah/Fiqh mengikuti salah satu empat
Imam (Imam Abu Hanifah, Imam Malik bin Anas, Imam Muhammad bin Idris Al-Syafi’i
dan Imam Ahmad bin Hambal).
Dalam Tasyawuf/Akhlaq mengikuti salah satu dari
dua Imam yaitu: Junaid Al-Baghdhadi dan Abu Hamid Al-Ghazali.
Namun pemahaman seperti ini
tidak memadai untuk di jadiakan pijakan gerak PMII. Sebab, pemahaman yang
demikian cenderung menjadikan Aswaja sebagai sesuatu yang baku dan tidak bisa
di otak-atik lagi. Pemaknaannya hanya di batasi pada produk pemikiran saja.
Sedangkan produk pemikiran secanggih apapun, selalu tergantung pada waktu dan
tempat (konteks) yang menghasilkannya. Padahal untuk menjadi dasar pergerakan, Aswaja
harus senantiasa fleksibel dan terbuka untuk ditafsir ulang dan disesuaikan
pada konteks saat ini dan yang akan datang inilah yang dinamakan idiologi
terbuka.
PMII memaknai aswaja sebagai Manhajul Fikr
yaitu sebagi metode berfikir yang digariskan oleh sahabat-sahabat nabi dan
tabi’in yang sangat erat kaitannya dengan situasi social politik yang meliputi
masyarakat muslim saat itu. Dari Manhajul Fikr inilah lahir
pemikiran-pemikiran keislaman baik bidang akidah, syari’ah, maupun akhlak/tasawuf,
yang walaupun beranekaragam tetap berada dalam satu ruh. PMII juga memakai
aswaja sebagai Manhaj Taghayyur Al-Ijtima’i yaitu pola perubahan
social-kemasyarakatan yang sesuai dengan nafas perjuangan Rosulullah dan para
sahabat-sahabatnya. Pola perubahan ini akan kita lihat dalam kehidupan bermasyarakat
yang mayoritas muslim. Inti yang menjadi ruh dari Aswaja baik sebagai Manhajul
Fikr atau Manhaj Taghayyur Al-Ijtima’i adalah sebagaimana di
sabdakan Rosulullah: Maa Anaa ‘Alaihi Wa Ash Habi (segala sesuatu yang
datang dari rosul dan sahabatnya). Inti itu diwujudkan dalam empat nalai: tawasuth
(moderat), tasamuh (toleran), tawazun (propesional/keseimbangan)
dan ta’addul (keadilan).
NILAI-NILAI ASWAJA DAN ARUS SEJARAH
1.
Tawassuth
Tawasuth bisa
dimaknai sebagai berdiri di tengah, moderat tidak ekstrim (baik kekanan maupun
kekiri), tetapi memiliki sikap dan pendirian. Khairul Umur aw Satuha
(muderat adalah sebaik-baik perbuatan). Tawasuth merupakan nilai yang mengatur
pola pikir, yaitu bagaiman seharusnya kita mengarahkan pemikiran kita.
Aqidah yang
tawasuth adalah aqidah yang di satu sisi tidak terjebak dalam rasionalitas buta
(menomor duakan al-Quran dan Sunnah Rasul), disisi lain menempatkan akal
sebagai alat untuk berfikir dan menafsirkan al-Quran dan as-Sunnah.
Fiqih atau hukum Islam
yang tawassuth adalah seperangkat konsep hukum yang didasarkan pada al-Qur’an dan
Hadist, namun pemahamannya tidak hanya bersandar pada tradisi, juga tidak
kepada rasionalitas akal belaka.
Tasawuf yang
tawasuth adalah spiritualitas ketuhanan yang menolak konsep pencapaian haqiqah
(hakekat Tuhan) dengan meninggalkan syari’ah atau sebaliknya. Tasawuf yang
tawasuth menjadikan taqwa (syari’ah) sebagai jalan utama menuju haqiqah.
Filsafat yang
tawasuth pemikiran logis yang tidak mempertentangkan konsep-konsep filosofis
kebenaran agama (al-Qur’an dan Hadist). Dengan kata lain menjadikan nilai-nilai
al-Qur’an dan Hadist sebagai pemandu pemikiran filosofis.
2.
Tasamuh
Tasamuh adalah
toleran, Tepa Selira (bhs. Jawa). Sebuah pola sikap yang menghargai
perbedaan, tidak memakasakan kehendak dan merasa benar sendiri. Nilai yang mengatur
bagainan kita bersikap dalam kehidupan kita sehari-hari, khususnya dalam
kehidupan beragama dan bermaysarakat. Tujuan akhirnya adalah kesadaran pluralisme
atau keeagaman, yang saling melengkapi bukan membawa perpecahan.
Dalam kehidupan
beragama, tasamuh di realisasikan dalam bentuk menghormati keyakinan dan
kepercayaan umat beragama lain dan tidak memaksa mereka untuk mengikuti
keyakinan dan kepercayaan kita. Dalam kehidupan bermasyarakat tasamuh terwujud
dalam perbuata-perbuatan demokratis yang tidak mementingkan kepentingan pribadi
diatas kepentingan bersama. Dan setiap usaha bersama ditujukan untuk
menciptakan stabilitas masyarakat yang di penuhi oleh kerukunan, sikap saling
menghormati, dan hormat-menghormati.
Di wilayah
kebudayaan tasamuh hadir dalam bentuk
usaha menjadikan perbedaan ras, suku, adat istiadat, dan bahasa sebagia
élan yang dinamis bagi perubahan masyarakat ke arah yang lebih baik. Perbedaan
tersebut berhasil di rekatkan dalam
sebuah cita-cita bersama untuk membentuk masyarakat yang berkeadilan, beraneka
ragaman, saling melengkapi. Unity in diversity
3.
Tawaazun
Keseimbangan dalam
pola hubungan atau relasi, baik yang bersifat antara individu, antar struktur
social, antar negara dan rakyatnya, maupun antara manusia dengan alam. Bentuk
hubungan disini yang tidak berat sebelah (menguntungkan pihak tertentu dan
merugikan pihak lain). Tetapi, masing-masing pihak mampu menempatkan dirinya
sesuai fungsinya tanpa harus mengganggu fungsi oranglain. Hasil yang diharapkan
adalah kedinamisan hidup.
Dalam ranah social
yang ditekankan adalah egaliterialisme (persamaan derajat) seluruh umat
manusia. Tidak ada yang merasa lebih dari pada yang lain, yang membedakan
hanyalah tingkat ketaqwaannya. Tidak ada dominasi dan eksploitas seseorang
kepada orang lain. Termasuk laki-laki terhadap perempuan.
Dalam wilayah
poitik tawazun meniscayakan antara posisi negara (penguasa) dan rakyat. Penguasa
tidak boleh bertindak sewenag-wenag menutup kran demokrasi, dan menindas
rakyatnya. Sedangkan rakyat harus selalu mematuhi peraturan yang di tujukan
untuk kepentingan bersama, tetapi juga harus senantiasa mengontrol dan
mengawasi jalannya pemerintahan.
Dalam wilayah
ekonomi tawazun meniscayakan pembangunan system ekonomi yang seimbang antara posisi negara, pasar,
dan mayarakat. Fungsi negara adalah sebagai pengatur sirkulasi keuangan,
perputaran nofal, pembuat rambu-rambu atau aturan main bersama dan menguntrol
pelaksanaannya. Tugas pasar adalah pendistribusian produk yang memposisikan
konsumen serta produsen secara seimbang, tanpa ada satu pihak pun yang
ditindas. Fungsi masyarakat khususnya (konsumen) adalah menciptakan lingkunagn
ekonomi yang kondusif, yang didalamnya tidak ada monopoli,dan disisi yang lain
mengontrol kerja negara dan pasar.
4.
Ta’adul/ ’Adalah
Yang dimaksud
dengan ta’adul adalah keaaadilan, yang merupakan pola integral dari tasamuh,
tawazun, dan tawasuth. Keadilan ilmiah yang merupakan ajaran universal Aswaja.
Setiap pemikiran sikap dan relasi, harus selalu diselaraskan dengan nilai ini.
Pemaknaan keadilan yang dimaksudkan disini adalah keadilan ssosial. Yaitu nilai
kebenaran yang mengatur totalitas kehidupan politik, ekonomi, budaya,
pendidikan, dan sebagainya. Sejarah membuktikan bagimana Nabi Muhammad bisa dan
mampu mewujudkan dalam masyarakat Madinah. Begitu juga Umar bin Khattab yang
telah meletakkan fundemen bagi kehidupan masyarkat Islam yang agung.
Post a Comment