MEMBACA SEJARAH PERGERAKAN
MEMBACA SEJARAH PERGERAKAN
Menuntaskan Transformasi Demokratik
Pemuda dan mahasiswa
selalu identik dengan perubahan sosial di indonesia sejak jaman penjajahan
kolonial Belanda hingga sekarang. Peran kesejarahan dan keterlibatan yang samat
panjang telah menempatkan sebagai kelompok seterategis yang memiliki daya dorong
transformasi sosial yang signifikan. Hingga tepatlah kiranya bila mahasiswa
dianggap sebagai salah satu ikon penting dalam perubahan sosial di Indonesia.
Membaca Gerakan
Mahasiswa (GM) kontemporer karenanya butuh pembacaan historisnya. Yakni
pembacaan atas berbagai konteks dan problematika GM Indonesia sedari
kelahirannya. Mulai dari perlawanan atas imperialisme sampai pergulingan rezim
dispotis, upaya pendekonstruksian formasi sosial masyarakat, keberadaannya
sebagai motor penggerak, pengorganisasian, hingga visi strategis GM.
Singkatnya, riset
ini difokuskan pada dialektika pergerakam pemuda dan mahasiswa sepanjang
sejarah keindonesiaan, yakni rentang waktu 1900-an hingga 2003 (kekinian).
Vareabel penjelasnya ditekankan pada dua wilayah, yakni konteks yang
mengerangkai (Global-Nasional-Lokal) dan aktor pergerakan.
Kebangkitan Nasional
1908 menjadi penanda salah satu tonggak sejarah kebangsaan. Namun dia tentunya
dilatari setting sosial tertentu. Pelacakannya bisa diruntut pasca pemberlakuan
politik etis, walaupun ada beberapa peristiwa penting yang mengintrodusir
terjadinya "Ledakan" pergerakan di masa ini. Sebagaimana diketahui,
sejak revolusi pengatahuan-teknologi era Renaissance di Barat, memacu
perubahan besar pada tatanan Dunia. Persaingan antara Negara bangsa di Eropa
melalui pencarian Dunia baru yang di iringi praktek imperialisme. Indonesia
tidak luput dari proses ini ketia masuknya bangsa Portugis, Belanda,hingga
Jepang.
Belanda masuk sejak
Tahun 1596-Cornelis De Houtman di Banten – dan puncaknya pada masa kekuasaan
VOC-kongsi dagang pemerintah Belanda-VOC melalui eksploitasinya Tahun 1602 di
bawah komando Gubernur Jendral Hindia Belanda, J.P Coen (meminpin 1619-1623 dan
1627-1629). Dari yang tadinya praktek monopoli "alamiah" dalam perdagangan
rempah-rempah, hingga penggunaan kekuatan politik, yakni masa culture
stelsel (culture system,culture system, cultivation system, tanam paksa)
dan seterusnya.
Culture stelsel
dilakukan karena pailitnya VOC (31-12-1799). Sebelumnya Hindia Belanda sempat
dibawah jajahan Inggris selama lima Tahun (1811-1816) di bawah Sir Thomas
Stanford Raffles. Tanam paksa kurang lebih selama 40 Tahun (1830-1870) di bawah
gubernur jendral Van Den Bosch.
Cara eksploitasi
model Culture Stelsel ini sendri dapat diturunkan dari kebutuhan pemerintah
Belanda untuk menutup kas Negara untuk membiayai peperangan yang terjadi di
Eropa. Keterlibatan negera secara aktif dalam memobilisasi kekuatan ekonomi di
daerah koloni karenanya di butuhkan.
Berikutnya, revolusi
februari 1848 di Perancis mengintrodusir pergeseran gagasan ekonomi-politk di
Belanda termasuk Hindia Belanda di dalamnya. Liberalisme ekonomi adalah anak
kandeng revolusi ini. Yang melalui desakan dari golongan liberal (F. Van De
Putte, De Waal, Thorbecke, dll) serta golongan humanis melalui E. Douwess
Dekker (1812-1979) di Belanda.
Kemenagan kaum liberal di Belanda
berakibat pada di gantikannya era tanam paksa oleh program politik etis.
Pemiskinan di tanah Hindia Belanda dijadikan sebagai basis argumen kaum liberal
untuk menyerang kebijakan ekonomi politik pemerintah Belanda. Van De Venter
melaui “Een Eerreschuld” (Debt of Honourl) utang budi, dalam majalah De
Gids 1899, mengkritik kebijakan kolonial yang tidak memperhatikan
kesejahteraan masysarakat pribumi, terutama di akhir abad ke-19 (G. Moedjanto,
1996:21). Kemakmuran Belanda, menurutnya, didapat dari jasa dan kerja orang
Hindia Belanda. Ini adalah hutang yang harus di bayar. Pokok pikirannya di
tuangkan dalam Trias Politica (Trias Van Devebter) yakni Irigasi, Emigrasi,
dan Edukasi oleh pemerintah Belanda di tanah koloni. Inilah program politik
dari politik etis yang di canagkan Tahun 1901 oleh ratu Wilhelmina.
Bagi kaum liberal Belanda,
politik etis secara ekonomi politik adalah kewajiban pemerintah Belanda untuk menyiapkan
infrastruktur bagi masuknya modal swasta ke negeri jajahan. Swasta menuntut
keterlibatan pada pengelolaan ekonomi Negara jajahan, yang pada saat yang
bersamaan menuntut minggirnya Negara sebagai aktor utama. Pemiskinan yang
melanggar kemanusiaan adalah propagandis bagi kebutuhan tenaga terdidik bagi
perkebunan di Jawa dan luar Jawa, termasuk di dalamnya program irigasi dan
emigrasi.
Dalam tafsir ini,
politik etis adalah kamuflase politik bagi kebutuhan cara baru pengelolaan
Negara jajahan dalam kerangka kolonialistis dan imperialistis. Tesisini dapat
di lihat dari sekian reduksi di level praktek. Tiga program ini senyatanya
lebih menguntungkan Belanda, dan bukan untuk pribumi, seperti ekonomi
(perlindungan dan bantuan bagi masyarakat pribumi), politik (pembebasan
mobilitas vertikal pribumi untuk jabatan penting), dan pendidikan (keterbatasan
akses, dan mobilitas untuk pos kebutuhan cara politik etis). Kelak, dampak dari
transformasi eksploitasi itu melahirkan sekian perlawanan di Sumatra dan Lampung,
yang menjadi sasaran trans migrasi.
Namun demikian
implementasinya tidaklah tunggal. Di sisi lain, politik etis justru menjadi
semacam nemesis (paradoks pendidikan) yang out putnya justru di pakai
untuk melawan Belanda. Secara bertahap, kesadaraqn keterjajahan menimbulakan
berbagai perlawanan, dari yang tadinya lokal ke Nasional. Ini tidak lepas dari
faktor internal dan eksternalnya. Faktor internal tersebut adalah penderitaan
penjajahan (rasa senasib seperjuangan); Pax Neerlandica yang telah
memberi jalan kesatuan bangsa; komunikasi dan transportasi yang semakin maju;
konsolidasi bahasa melayu menjadi bahasa Indonesia sebagai bahas persatuhan;
pergerakan Nasional sebagai reaksi terhadap lahirnya semangat kedaerahan;
inspirasi kejayaan Majapahit dan Sriwijaya dan sebgainya. Sedangkan faktor
eksternalnya: kemenagan Jepang atas Rusia; perlawanan rakyat India; revolusi
kaum muda Turki 1908 (Musthafa Kemal Fasha); revolusi Tionghoa 1911 (Dr,Sun Yat
Sen) dan sebagainya (G. Moedjanto: 26).
Begitu politik etis
dilaksanakan, sekolah untuk anak-anak Eropa mulai dibuka untuk anak-anak
pribumi oleh Abendanon. Tahun 1902, sekolah juru kesehatan Bumiputera atau
Sekolah Dokter Bumi Putera (School Voor Genees Kundigen) ditingkatkan
menjadi Sekolah Dokter Bumim Putera (School Tot Opleiding Van Inlandsche
Arts - STOVIA) (Parakitri, 1955:225). Pada Tahun ini pula di mulai program
politik etis yang lain, yakni transmigrasi dan irigasi.
Sekolah-sekolah
inilah yang kemudian melahirkan lapis-lapis sosial terpelajar dalam masyarak pribumi.
Gerakan di masa awal, mulanya di pelopori oleh seorang ningrat-bukan
mahasiswa-Dr. Wahidin Sodirohusodo yang pada Tahun 1901 memimpin majalah
“Retnodoemilah” yang di terbitkan di Yogyakarta sejak Tahun 1895 (saat itu di
pimpin oleh F.L Winter, seorang ahli bahsa Jawa). Wahidin berasal dari melati,
Sleman Yogyakarta (W. 26 mei 1916) di Yogyakarta.
Pada Tahun 1906 ia
keliling Jawa untuk merealisasikan keinginannya. Kemajuan menurtnya, akan
tercapai dengan ilmu pengatahuan Barat lewat pendidikan dengan tanpa
meninggalkan warisan Jawa. Safari ini juga dalam rangka mengumpulkan beasiwa
(studiefonds), untuk meningkatkan pendidikan rakyat pribumi. Mamun gagasan
wahidin tidak di sukai oleh kalangan priyayi yang khawatir tersaingi.
Tahun1907, di Jakarta dia bertemu mahasiswa STOVIA dan mendirikan perkumpulam
pemuda dan mahasiswa, yakni budi utomo 20 mei Tahun 1908. personelnya di ketuai
oleh dr. sutomo (lahir didesa ngapeh, nganjuk, jatim, 30 juli 1888), gunawan
mangun kusumo (wakil ketua), dan dan gondo sowarno (sekretaris).
Pada Tahun 1924 ia
juga mendirikan Sutdie Club di Surabaya yang kemudian melebur dalam
persatuan bangsa Indonesia (PBI) pada 16 oktober 1930, cara PBI dalam
menghadapi penerintahahn kolonial Belanda memilih jalan tengah antara jalur
kooperatif atau non kooperataf. Atas prakarsanya pada Tahun 1935 budi utomo dan
PBI disatukan dalam wadah partay Indonesia raya (PARINDRA). Sotomo juga pernah
bekerja sama dengan ir. Soekarno membentuk badan pederasibernama PPPKI
(permufakatan perhimpunan politik kebangsaan indonesia) pada Tahun 1927. PPPKI
juga memiliki kontri bwsi besar bagi terlaksananya kongres Indonesia raya Tahun
1928 dan 1931 di Surabaya dimanan sutomo mwnjadi ketuanya.
Pada dasawarsa
1920-an perlawanan di Jawa terbagi menjadi tiga front, yaitu front Jakarta yang
dipimpin oleh husni tamrin, front bandung yang dipimpin oleh sukarno, dan front
Jawa timur yang di pimpin oleh sutomo, yang meminpin dan banyak sekali
menerbitkan surat kabar sebagai corong pergerakan seperti “suara umum, tempo, majalah
bangun, dan sebagainya”.
Masih diTahun 1908,
sutomo di gantikan Rd. Adiati tirtokusumo melalui kongres budi utomo I (11
oktober 1909) bila masih terus di pimpin oleh para mahsiswa kama budi utomo
akan kesulitan dalam hal finansial. Oleh karena itu disepakati untuk di
serahkan pada kalangan para priyayi. Tirto kusumo meminpin budi utomo mulai
Tahun 1908-1914 (2 priode), dilanjutkan Rd,Ng. Wediodipuro Tahun 1914-1915,
R.M. Ario suryosaputro Tahun 1915-1916, R.M. Ario wuryonigrat. Kepemimpinan
golongan priyayi membawa budi utomo pada karakter perlawanan yang cenderung
kooperatif dengan pihak kolonial.
Sebagai varian
gerakan, budi utomo membuat “organ taktis” yakni tri koro dharmo (berdiri 7
maret 1915) yang diketuai oleh sutiman wryosanjoyo dan beranggotakan sunardi
(wongso negoro), sutomo, muslch, musoda, dan abdul rahman. Walaupun asasnya
bersifat Nasional dalam arti organisasi ini menpunyai kesadaran “Hindia”, namun
anggotanya adalah murud-murid sekolah menengah yang berasal dari Jawa tengah
dan Jawa timur saja. Trikoro dharmo dengan demikian masih sangat Jawa sentries.
Namun demikian dari
organisasi ini dapat menjadi perkumnpulan pemuda-pemuda dan mahasiswa seluruh
“Hindia”. Pada kongresnya di solo, 12 jini 1918, trikoro dharmo berubah menjadi
jong java yang corak pergerakan an ruang lingkupnya lebih luas termasuk pemuda
dan mahasiswa sunda. Konteks situasi Nasional pada saat itu samangat pergerakan
untuk merebut kemerdekaan.
Selama eksis, jong
java telah mampu menjadi salah satu bagian pentinga dalam pergerakan Nasional.
Trikoro dharmo secara konsep taktik-setrategik memang masih bersifat kedaerahan
(Jawa sentris), walaupun kemudian mengalami perluasan. Namun konteks perlawanan
tidaklah berneda dengan yang terjadi di daerah lain pada saat itu (kurun waktu
1908-1917), yakni upaya keluar dan membeaskan diri dari jarring-jaring
kolonialisme, kapitalisme dan feodalisme.
Sebagai elemin
pelopor atau perintis trikoro dharmo menjadi referensi gerakan didaerah lain.
Pergantian nama menjadi jong java mengakhiri stigma “Jawa sentris”. Inilah
usaha memperlias cakupan dan orientasi pergerakan. Didaerah lain
organisasi-organisasi seruapun dibentuk, yang juga masih bersifat kedaerahan
seperti jong sumatranen bond/jbs (1917), jong Celebes (1918), jong minahasa
(1918-1928), jong batak bond (1925). Yang agak berbeda adalah jong islamieten
bond (JIB) Tahun 1925 yang menunjukkan-walaupun masih particular- kecendrungan
kebutuhan menyatukan organisasi pemuda dan mahasiswa dalam skope yang lebih
luas (Nasional), namun juga menandai pengaruh keagamaan yang mrnjadi daya
dorong pergerakan secara formal dikalangan
pemuda.
Inilah kecendrungaan
yang mampu melahirkan jong Indonesia di bandung pada tanggal 27 februari 1927
(hasi keputusan kongres pemuda I, 30 april 1926), sumpah pemuda (SP) sring
disebut sebagai generasi penegas atau pendobrak-tanggal 26-28 oktober 1928.
namun ini tentunya lebih nersifat momentum, karena sebelumnya pun tidak bisa di
nafikan arti kegiatan serupa yang juga bersifat Nasional. “manifesto politik”
perhimpunan Indonesia sebelumnya (indische vereeniging 1906-1922) yang
dimuat Hindia poetra, edisi maret 1923, telah mengintrodusir gagasan
kesatuan, demokrasi, penilakan penjajahan, dan hak menentukan nasib sendiri
dlam Indonesia yang merdeka. (1000 Tahun nusantara, 2000:139-140).
Masa 1928-1939
SP 1928 menjadi referensi orientasi
persatuan Nasional bagi pergerakan mahasiswa dan pemuda waktu itu, seperti
munculnya Indonesia muda (IM) Tahun 1930 sebagai hasil peleburan
organisasi-organisasi kemahasiswaan dan kepemudaan (JSB, JC, JM, SR, dan yang
lainnya). IM dipelopori oleh perhimpunan pelajar-pelajar Indonesia (PPPI).
Dalam perjalannya,
banyak organ ini tidak terlepas dari intrik dan friksi internal serta
intervensi kolonial melalui tindakannya yang represif. Pada kasus IM, persoalan
eksternal dan internal ersebut mampu mendomestifikasikannya hingga gagal
memberikan kontribusi signifikan. Realitas ini mendorongan banyaknya anggota IM
keluar dan membentuk organ lainnya seperti soeleh pemuda Indonesia (SPI) dan
pergerakan pemuda revolusioner (PERPIRI), dan di kemudian waktu juga mengalami
problem sama. Kevakuman grakan pemuda di tingkat Nasional sudah mulai terlihat.
Vakumnya IM dan
organ-organ lainnya telah sedikit melumpuhkan semangat pergerakan Nasional.
Kevakuman dan krisis pergerakan yang sharusnya terkait dengan konteks
eksternal, seperti malaise ekonomi Dunia Tahun 1929/1930, pembatasan hak
berkumpul dan berserikat (pengawasa polisi) dalam rapat-rapat partai, larangan
pegawai dalam birokrasi untuk menjadi anggota partai politk, cap Ilegal
bagi organ yang di angggap bertentangan dengan
lae and order (koninklijk besluit, 1 september 1919). Situasi
represif inipun banyaknya pergerakan pemuda Nasional yang di asingkan
(sokarno,hatta dan syahrir) setiap organ dituntut memiliki daya tahan jaka
ingin bertahan dan dipaksa menyesuaikan diri dengan kebijakan pemerintah (G.
Moedjanto, 1992:57).
Banyak penyiasatan
kemudian butuh di lakukan untuk merespon refresif ini. Banyak dari mereka
kemudian bertransformasi menjadi studie club. Wilayah gerakan sangat
cultural, yakni berupa aksi-aksi penyadaran masyarakat akan arti penting
pergerakan, persatuan, pendidikan dan lainnya yang secara cultural bermanfaat
bagi perjuangan merebut kemerdekaan. Menyebarkan wacana melalui surat kabar,
atau majalah (seperti soeleh rakyat, soeleh indonesia) adalah tren baru
pergerakan.
Di waktu kemudian
trend study club ini menjadi usang dalam konteks sosial politik yang berubah.
Embrio revolusioner dalam pergerakan cultural mulai membutuhkan ruang ruang
sosial untuk “uji materielnya.” Banyak kemudian dari mereka menjadi partai
politik seperti algemeene studie club-nya sukarno berubah menjadi partai
bangsa Indonesia (PBI) dan lau partai Nasional Indonesia (PNI) pada Tahun 1927.
pergeseran ini kemudian diikuti oleh partai-partai baru seperti partai
Indonesia raya (PARINDRA)-eks budi utomo, gerakan rakyat Indonesia (GARINDO),
dan puncaknya adalah terbentuknya gabungan politik Indonesia (GAPI) pada Tahun
1939.
Masa pendudukan
Jepang (1942-1945)
Pada masa Jepang hampir semua
gerakan pemuda dan mahasiswa di bubarkan. Mereka kemudian di mobilisasi dalam
mewujudkan Program Asia Timur Raya Jepang. Situasi ketidakamanan akan bahaya
perang, memaksa Jepang untuk tidak memberikan ruang politik yang luas, bagi
kebutuhan pengorganisasian dukungan.
Konsekwensinya, para pemuda di
masukkan kedalam barisan-barisan pelopor ketentaraan Jepang, seperti seinendan,
keibodan, heiho, dan lainnya. Sebagian lainnya di beri lebel “kebangsaan”
seperti pembela tanah air (PETA). Mereka ini, dalam propaganda Jepang, nantinya
akan menjadi tulang punggung kemerdekaan. Walaupun sesungguhnya keberadaan mereka
tidak lebih sebagai penyiapan bala bantuan Jepang untuk menunjang meliter
Jepang pada perang pasifik.
Dimulailah era baru pergerakan,
yakni era pergertakan bawah tanah. Era ini dikenal sebagai era kejayaan gerakan
illegal seperti selebaran, kurpol-kurpol, dan propaganda. Hanya saja seperti
nanti dicatat di bawah, gerakan bawah tanah ini di kombinasikan dengan cantik
dengan gerakan illegal yang dipimpin sukarno. Salah satu hasil kalaborasi ini
adalah keberahasilan pengorganisasian massa pada demonstrai massa di lapangan
Ikada.
Seperti di sebutkan
di atas tidak semua gerakan kepemudaan dan mahasiswa tirap. Kekuatan politik
yang di mainkan masih di pertahankan, hanya sajaj dicitrakan agak jauh dari
oposisi. Cara yang kedua inilah yang di perankan antara lain oleh sukarno,
hatta, dan lainya. Sementara di kubu yang pertama, nama tan malak barangkali
yang paling tersohor.
Pergeseran yang
cukup berarti, terlihat di masa-masa akhir pendudukan Jepang. Kekalahan tentara
Jepang oleh sekutu di beberapa tampat, yang didengar oleh aktivis pergerakan
Nasional, dapat menjadi buneranga bagi cara politik refresif yan gdigunakan.
Putera yang tadinya hendak digunakan ssebagai organ korporatis Jepang, mulai
mampu menunjukkan karakter oposisinya. Ini memaksa Jepang untuk lebih
akomodatif pada kepentingan politik pergerakan kemerdekaan Nasional.
Pembentukan BPUPKI yang kemudian menjadi PPKI adalah contoh terbaik politik
akomodatif Jepang di sat-saat akhir pendudukan.
Pasca kemerdekaan
Tahun 1955 merupakan
Tahun ke-5 indonesia menganut system demukrasi liberal (demukrasi parlementer).
Eksprimentasi yang kemudian di anggap gagal, karena tidak adanya pemerintah
(partai/koalisi partai untuk meraih mayoritas dalam parlemen) yang mampu
bertahan lama (rerata kurang dari 5 Tahun, terlamam tidak lebih dari 2 Tahun)
. Enpat parai besar pemenag pemilu 1950, yakni PNI,masyumi, NU, dan PKI,
tidak ada yanga meraih mayoritas.
Instabilitas politik
ini di perparah oleh keterlibatan meliter dalam panggung politik. Rasionalisasi
di tubih meliter yang tadinya dimaksudkan untuk memprofesionalkan keberadaannya
tidak terkomonikasikan dengan baik.
Pasca agresi meliter
Belanda I dan II, rencana “pecah belah” dalam model RIS, yang menandai
keinginan Belanda (dan sekutu) untuk berkuasa kembali di Indonesia,
memunculakan persepsi di ubuh meliter akan kewajiban menjaga kesatuan Nasional.
Carut-marut tersebut di perparah keterlibatan elit sipil yan gmencampuri
internal meliter.
Singkatnya, dalam
perspektif meliter, Pertama, menolak intervensi sipil dalam urusan
internal meliter (seperti kasus pelantikan bambang otoyo sebagai KSAD), dan kedua,
melihat instabiitas politik adalah karakter dasar dari kepemimpinan politik
sipil. Walaupun, sesungguhnya yang lebih dominan adalah yang pertama, sedangkan
yang kedua akan menjadi bahan yang makin akumolatif di kemudian waktu.
“pembangkangan” awal
meliter teahdap kepemimpinan sipil, didemonstrasikan dalam pagelaran pasukan di
depan istana Negara di bawah komando A.H. Nasutin, di tengah pidato presiden
sukarno pada tanggal 17 oktober 1952. inilah awal ketegangan yang akan terus
berlanjut hingga di kemudian hari. Kesemuanya berimplikasi pada instabilitas
politik yang dalam konteks Negara baru seringkali tidak menguntungkan.
Krisis politik ini
di perparahatau di matangkan oleh kerisis ekonomi yang diawali sekitar
1954-1959 (yang akan semakin parah di Tahun-Tahun berikutnya). Tingkat insplasi
tinggi-yang merupakan indicator makro stabilitas ekonomi-menurunkan tingkat
daya beli yang menurunkan tingkat kesejahteraan. Namun tanpa harus
memperdebatkan bagaimana tingkat kesejahtraan di ukur, senyatanya persoalan
kemiskinan belum tertanggulangi.
Dalam disertasinya,
Hermawan Sulistyo menunjukkan bahwa suplai uang, devisit anggaran, dan biaya
hidup meningkat sekitar tiga kali lipat.
Catatan:
Tulisan diatas merupakan tulisan yang bukan merupakan karya PMII
Kabupaten Bogor, melainkan diambil secara random dari google telah lama
dan tidak tercantum darimana sumber aslinya. Semoga penulis aslinya
mendapatkan pula limpahan pahala dari hasil karya tulisnya. Amien.
Post a Comment